Semua orang kalo mau belajar pasti bisa, tinggal mau belajar atau enggak. Orang pinter main piano, kan awalnya nggak bisa dulu. Asal mau belajar terus pasti bisa kok.
Ada pepatah bilang, buah jatuh pasti nggak jauh dari pohonnya. Pepatah ini nggak sepenuhnya berlaku buat semua orang sih. Ayah dan ibunya lulusan arsitektur, nggak punya background science, sekarang keduanya menjadi entrepreneur. Lalu anaknya?
Samuel Alexander menjadi satu-satunya finalis dari Indonesia yang masuk 90 besar di ajang Google Science Fair 2014, ajang kompetisi sains tingkat dunia untuk anak muda usia 13-18 tahun. Ia menciptakan Frilentra Bike (frictionless electric energy transfer bike), alat charge ponsel yang diletakkan di sepeda. Sebenernya sih, Sam udah masuk dalam 15 finalis untuk kategori Science in Action Award, sayangnya belum berhasil aja.
“Menurutku ini kategori paling sulit, karena peserta dari India paling banyak. Bahkan peserta yang mendaftar dari US itu kebanyakan anak India dan Cina gitu..”
Baca juga: Saat Video Games dan Sains Berkolaborasi Memecahkan Masalah
Awalnya Sam mau bikin sistem hidroponik yang bisa dikontrol dengan smartphone, tapi ide itu udah banyak yang pakai. Sampe kebetulan Sam lihat orang lagi nge-gym, dia kepikiran kenapa sih orang mau nge-gym? Udah bayar, tenaganya terkuras lagi. Kenapa nggak tenaganya disimpan buat listrik di rumah aja kan ya?
Terus kayak di film Monster Inc juga, kan tangisan dan teriakan anak kecil bisa dipakai sebagai energi. Abis itu lihat sepeda dan turbin angin, lalu Sam kepikir kenapa nggak turbin angin itu ditaruh di rodanya sepeda? Akhirnya Sam yang nggak ngerti apa-apa soal induksi elektromagnetik ini pun belajar secara otodidak karena orang-orang di sekelilingnya nggak ada yang bisa juga.
“Sebelumnya aku nggak pernah bikin science project kayak gini, soalnya aku nggak ngerti elektro, nggak ngerti induksi elektromagnetik sama sekali. Iya, semuanya aku nggak ngerti dan baru belajar dalam waktu 2 bulan sebelum submisi Google Science Fair 2014 berakhir..”
Baca juga: #ziliuntrip: Mendorong Keberagaman
“Aku ikut Google Science Fair ini soalnya it’s your turn to change the world. Pengen nunjukin sesuatu, karena dulu aku dipandang sebagai anak yang kurang pinter di kelas. Aku juga pengen nunjukin kalo adekku nggak selalu lebih bagus dari aku. Semuanya inisiatifku sendiri, ya kan masa’ aku kalah terus sama adekku. Adekku condong ke matematika, sedangkan aku lebih condong ke sains.”
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, nilai pelajaran Sam memang nggak terlalu bagus. Selain itu, nggak sedikit orang yang membandingkan Sam dengan adiknya, Nicholas Patrick, yang punya sebelumnya menyabet banyak piala Olimpiade Sains Nasional (OSN). Pernah Sam manfaatin liburannya selama satu bulan hanya untuk belajar matematika lewat game gitu, iya karena nilai matematikanya jelek.
“Kursus online gitu, jadi ngerjain soal kan dapet poin. Terus kayak main game, jadi aku ada target besok harus dapet poin berapa. Ini nggak disuruh sama orang tua sih, karena aku suka aja sama matematika, tapi nilaiku jelek.”
Baca juga: How Will You Change The World?
Sejak kecil Sam nggak pernah dipaksa oleh orang tuanya untuk belajar ini dan itu. Mau main game ya terserah, mau belajar ya terserah. Tapi nyatanya dengan kesadaran diri sendiri, Sam akhirnya mau untuk mengejar nilai-nilainya yang jeblok.
“Orang tua nggak ngelarang kalau aku main game. Dulu sempet dimarahin karena nilaiku jelek, tapi ya aku sadar sendiri untuk memperbaiki nilai yang jeblok. Kalau nggak sadar sendiri ya mau diingetin berkali-kali juga sama aja kan? Nggak bakal berubah.”
Di Google Sience Fair 2014 lalu, dalam waktu selama 2 bulan, Sam belajar semua hal yang sebelumnya dia nggak ngerti termasuk gimana cara bikin kumparan. Berkali-kali nyoba, berkali-kali pula gagal. Walau sempet berpikir mundur dan ikut lagi tahun depan, tapi Sam memilih untuk berusaha dulu. Nyatanya, ia berhasil menyisihkan 10.000 peserta dan masuk menjadi finalis di ajang ini.
Sebelumnya, Sam pernah bikin apps Android yang kalo misal orang ninggalin rumah, lampunya otomatis mati. Kalo orang berada di deket rumah, lampunya bisa otomatis nyala. Ini proyek sederhana sih, programnya simpel banget kata Sam. Cuman ya pernah kesetrum waktu bongkar pasang stop kontak rumah, untungnya nggak kenapa-napa.
Baca juga: Andreas Senjaya: Bermanfaat Melalui Teknologi
Ketika ditanya ke depan pengen bikin apa, Sam bilang banyak!
“Dulu waktu ada crash Air Asia, aku punya ide buat gimana nyari pesawat ilang karena ada orang tua temenku yang jadi korban juga. Idenya sih sederhana, gimana kalo waktu crash gitu, ada reaksi kimia di air laut kayak jadiin air laut merah semua. Itu kan bisa dilihat dari atas helikopter yang nyari, atau kalau mau gampang lihat pakai satelit. Oh ada warna merah di sana, posisi jatuhnya pesawat, gitu kan bisa langsung bisa kirim tim SAR.”
“Aku juga ada ide ide buat kasih internet buat desa-desa terpencil. Desa terpencil itu kan cuman bisa radio, nah gimana kalo internet masuk desa itu lewat frekuensi radio. Cuman ini masih sebatas ini aja, belum aku pelajari sama sekali.”
Sekarang Sam punya ‘bengkel’ sendiri, tempat di mana ia bisa berekeperimen macem-macem. Dari yang awalnya nggak bisa apa-apa, karena belajar terus jadi ngerti apa-apa. Anak muda seusia Sam aja mau kok belajar hal-hal baru, masa’ kamu yang udah ‘berumur’ pake seribu alesan untuk mau belajar. Malu dong!
Header image credit: youtube.com / Google Science Fair