Video games – a childish and sometimes dangerous pursuit, not worthy of being spoken of in the same breath as music or movies, either in cultural or economic terms?
Kalau ngomongin video games pasti kaitannya langsung dengan hiburan—sesuatu yang lo mainkan di saat waktu senggang atau untuk menghabiskan malam minggu semalam suntuk. Hehehe. Terkadang malah jadi nightmare untuk beberapa orang tua, takut anaknya kecanduan dan berakibat prestasi akademik menurun di sekolah. Mungkin sebagian besar orang tua berharap anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melahap buku ensiklopedia sains ketimbang mantengin layar untuk menamatkan game.
Tapi kebayang ga sih kolaborasi antar sains dan industri video games? Dari informasi di BBC, ternyata sekitar sebulan yang lalu di Hotel Metropole, Brighton–tempat langganan acara politik dan konferensi partai—diselenggarakan Develop, sebuah konferensi games terbesar di Britania Raya. Selain para designer, mahasiswa, entrepreneur, dan technology vendors, ternyata banyak ilmuwan riset dari bidang kesehatan masyarakat, rekam medis, dan genetika yang turut ikut serta! Mereka diundang oleh Wellcome Trust, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kesehatan masyarakat global—yang ternyata dalam beberapa tahun ini telah bekerja sama dengan industri video games.
Baca juga: Crowdsourcing, Solusi Masa Depan Dunia Pendidikan
Lalu apa hubungannya dengan para ilmuwan dalam bidang kesehatan ini? Mereka ternyata hadir untuk melihat proyek yang membuktikan skill dari industri gaming dapat memecahkan masalah yang seringkali ditemui oleh para ilmuwan dari semua bidang, yaitu permasalahan how to handle big data.
Yayasan Wellcome Trust percaya virtual reality dapat menawarkan solusi. Bekerjasama dengan Epic Games, Wellcome Trust mengadakan Virtual Reality Big Data Challenge, sebuah kontes untuk memvisualisasi dataset besar secara inovatif. Pemenang kontesnya adalah tim Lumapie yang menggunakan data studi ALSPC (Avon Longitudinal Study of Parents and Children) tentang anak kelahiran tahun 90an dari Universitas Bristol.
Menurut Pascal Auberson, salah satu dari anggota tim, menggunakan sebuah headset virtual reality akan lebih berguna untuk para periset daripada sekedar mempelajari spreadsheet atau lewat layar komputer biasa.
“Anda bisa melihat kedalaman dan bentuknya lebih jelas,” jelasnya. “Ini berhubungan dengan kemampuan alami otak untuk dapat melihat pola.”
Baca juga: Kunci Berinovasi: Lagi-lagi Crowdsourcing
Terus, kenapa ga membuat algoritmanya aja langsung untuk merekognisi pola? Karena manusia lebih unggul daripada komputer saat menghadapi permasalahan rumit yang membutuhkan intuisi daripada sekadar perhitungan cepat dan kompleks. Komputer pun belum menyamai skill spasial yang dimiliki oleh manusia.
Yang lebih menarik lagi, skill yang biasanya dikembangkan oleh para designer sampai para software engineer pada perusahaan game, dapat digunakan dalam cara yang baru.
“Kami membawa skill dari developer game dan mengaplikasikannya untuk menghadapi tantangan dari komunitas ilmiah, di mana interaksi antara keduanya jarang dilakukan,” jelas Ian Dodgeon dari Wellcome Trust.
Kira kira apa lagi permasalahan ilmiah yang dapat dipecahkan melalui skill dari video games, ya?
Baca juga: Sekuel Filosofi Kopi: Ben & Jody, Mengajak Masyarakat untuk Berkolaborasi (1)
Dilansir dari: The Serious Science and (Business of) Gaming (BBC, 2015)
Header image credit: bris.ac.uk
Comments 2