Semasa saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Pontianak, kedua orang tua saya telah mulai memperkenalkan saya dengan konsep “berusaha”. Suatu sore saya diajak jalan oleh Bapak dan Ibu. Saya duduk di depan Bapak menghadap dashboard sepeda motor, sementara Ibu duduk di belakang. Sungguh menyenangkan tiap kali diajak jalan menggunakan sepeda motor. Makan angin, kata orang-orang di kampung saya.
Kami melewati sebuah komplek perumahan elit yang kononnya hanya dihuni oleh orang-orang kaya di Pontianak. Di depan sebuah rumah besar bagai istana, Ibu bertanya “Yansen mau ngga punya rumah besar kayak gini suatu hari?” Saya menjawab iya. Ibu kemudian melanjutkan, “Nah, kamu harus belajar yang rajin, biar bisa jadi orang kaya dan bisa memiliki rumah yang besar!”.
Baca juga: Cita-cita: Mati Dikenang Menjadi Nama Jalan
Di saat itu sebenarnya saya tidak mengerti korelasi antara “belajar yang rajin” dengan “menjadi kaya”. Yang saya mengerti adalah saya ingin memiliki rumah yang besar. Ibu saya berhasil menanamkan sebuah visi sejak saya masih SD. Visi itu dituangkan menjadi sebuah misi melalui usaha-usaha keras dalam belajar. Siang malam sepulang sekolah, saya selalu mengerjakan soal yang disiapkan oleh Ibu. Hasilnya pun jelas, saya sering menjadi juara kelas, hingga berbagai lomba mewakili sekolah.
Bapak awalnya hanyalah seorang tukang fotokopi. Bermula dari menyewa sebuah mesin fotokopi, Bapak melayani berbagai kebutuhan banyak orang dalam memperbanyak dokumen. Dimulai hanya karena iseng membaca dokumen-dokumen pelanggannya, Bapak membangun sebuah kebiasaan membaca dalam dirinya hingga menjadi wawasan. Satu kebiasaan yang juga menurun di saya. Membaca selalu menyenangkan.
Baca juga: Jangan Cuma Jadi Orang Pintar!
Setelah menikah, Ibu merencanakan membangun sebuah usaha, yaitu butik fashion. Bapak tetap melanjutkan usaha fotokopinya yang kian berkembang. Sementara Ibu memutuskan untuk berangkat ke Jakarta mencari barang dagangan untuk kemudian dijual di Pontianak. Karena berbagai alasan, usaha butik ini tidak berhasil setelah dicoba hampir dua tahun. Tidak menyerah, Ibu kali ini mau membangun sebuah rumah makan. Sekali lagi Ibu berangkat ke Jakarta untuk belajar memasak di kursus tata boga. Berbekal sertifikat rumah seorang tante dari Bapak, kedua orang tua saya mengambil resiko dengan meminjam uang ke bank untuk menyewa sebuah ruko.
Selain menanamkan visi “rumah besar” serta konsep “berusaha”, Ibu juga mengajari saya tentang konsep “berbagi”. Hidup dan dibesarkan di sebuah rumah makan membuat saya sulit membayangkan kondisi tanpa makanan, hingga akhirnya saya diajak ke sebuah tempat bernama panti asuhan. Minimal sebulan sekali Ibu akan mengajak saya dan adik-adik saya untuk mengunjungi panti asuhan. Kami datang membawa makanan untuk dibagikan kepada anak-anak SD seumuran saya. Bedanya, mereka hanya bisa menyantap ayam goreng sekali dalam setahun.
Baca juga: Karena #BahagiaItuSederhana
Sulit rasanya mengamalkan “perbuatan baik” seperti yang diajarkan di sekolah, jika saya tidak pernah membagikan ayam goreng kepada orang yang hanya bisa menyantapnya sekali dalam setahun. Pengalaman ini membuat saya mengerti artinya berbagi. Pengalaman ini membuka mata saya tentang kenyataan hidup di mana tidak semua orang memiliki apa yang kita miliki. Pengalaman ini mengajarkan saya untuk membagikan apa yang kita miliki, hingga menjadikan hidup kita ini mempunyai makna yang lebih besar dari sekedar untuk diri kita sendiri.
Membangun usaha rumah makan bukan hanya tentang menjual makanan dan minuman kepada pelanggan. Membangun rumah makan bukan hanya untuk mencapai impian “rumah besar” untuk diri sendiri. Membangun usaha rumah makan juga tentang berbagi makanan kepada manusia lain yang tidak mampu membeli makanan yang kamu jual. Menjadi seorang pengusaha bukan hanya tentang berusaha, namun juga tentang berbagi. Jika hanya berusaha untuk menjadi kaya raya bagi diri sendiri, rasanya Tuhan dari agama manapun tidak akan setuju.
Catatan:
Ibu saya meninggal di bulan Agustus dua tahun yang lalu. Setahun kemudian Bapak memutuskan menutup rumah makan setelah beroperasi hampir 30 tahun. Saya menulis ini untuk mengenang Ibu, juga untuk mengingatkan saya untuk membangun kembali rumah makan itu suatu hari. Sebuah rumah makan untuk berbagi, hingga semua manusia Indonesia bisa makan.
Baca juga: Risalah Perut