Jika perut bisa membuat sebuah risalah, mungkin dia akan menyampaikan pada kita semua bahwa dia adalah hal yang kita sembah saat ini. Bukan, dia tidak bermaksud menyatakan dirinya Tuhan. Hanya saja dia tahu bahwa dia sangat penting sampai sangat diperhatikan oleh kita, manusia. Lihatlah bagaimana orang-orang berupaya memiliki perut indah, entah itu mengecilkan, membesarkan, sampai membuatnya menjadi kotak-kotak.
Uang itu yang paling penting katamu? Perut pun tertawa mendengarnya. Perut merasa bahwa dialah yang lebih penting dari uang di dunia ini. Menanggapi hal itu saya teringat akan film Grave of The Fireflies yang menceritakan dua kakak-beradik yang bertahan hidup saat perang dunia. Tidak ada yang mau menerima uang mereka hanya untuk segenggam nasi. Semua orang merasa nasi lebih berharga dibandingkan uang saat itu. Perut yang selamat dari kelaparan adalah hal yang paling penting dibandingkan berlembar-lembar uang.
Hal ini semakin diperkuat dengan keadaan dimana saya menanyakan pertanyaan “apa yang akan kamu lakukan jika di dunia ini tidak ada uang?” pada beberapa orang dalam suatu wawancara. Jawabannya pun sangat mengejutkan. Mulai dari yang memiliki rencana berkebun untuk investasi makanan masa depan, jalan-jalan keliling dunia mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk bertahan hidup sampai mengusulkan gerakan pada pemerintah untuk mengoptimalisasikan sumber daya alam Indonesia agar semua penduduknya bisa makan. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa semua pemikiran kerja keras itu justru baru muncul saat uang itu tidak ada. Apakah yang salah itu uang atau memang benar perut itu adalah hal terpenting negeri ini? Sepertinya mau berbicara ekonomi sejauh apa pun semua akan kembali ke perut masing-masing.
Baca juga: Mempertanyakan Ekonomi Dalam Negeri
Perut mengangguk bangga dan sekali lagi ingin meyakinkan pada kita semua bahwa dialah yang paling berharga dibanding uang. Menanggapi hal itu, saya pun teringat dengan kompetisi debat mahasiswa dengan topik kemiskinan. Dalam debat itu, senior saya yang merupakan salah satu peserta melontarkan kalimat yang membuat saya berpikir. Dia mengatakan, “Saya kagum dengan semua gagasan pintar Anda semua. Cobalah kita debat lagi dalam perut kosong. Apakah Anda semua bisa berpikir sepintar ini? Mungkin saja kepintaran bahkan moral kita yang sebenarnya itu murni bisa diukur dari perut kosong!”.
Jadi teringat dengan nasi bungkus yang bisa menggantikan uang tutup mulut. Apakah benar perut kenyang dapat mengatasi segalanya? Mengatasi kebodohan, moralitas, kemiskinan sampai kebahagiaan? Bahkan ada yang bilang perut kenyang bikin hati senang. Ou ou ou atau mungkinkah sebenarnya kemiskinan itu tidak ada jika semua kebutuhan perut di dunia ini tercukupi? Kalau gitu nggak heran kenapa di masyarakat muncul istilah bahwa perut buncit melambangkan kemakmuran selayaknya visualisasi perut raja-raja dalam animasi.
Jika perut bisa membuat risalah, mungkinkah dia menyatakan bahwa dia adalah sumber masalah di dunia ini? Mungkinkah dia menjadi sebuah solusi jika kebutuhan perut sudah terpenuhi? Nyatanya perut kenyang saja tidak dapat memberi solusi untuk segala masalah.
Saya jadi teringat sebuah video yang membuat saya merenungkan risalah perut ini. Merenungkan bagaimana 255,5 juta manusia Indonesia bisa makan. Gerakan Nasional 1000 Startup Digital yang dipercaya dapat memberikan 1000 inovasi, 1000 solusi, 1000 karya untuk 1 Indonesia raya. Tentunya gerakan nasional ini lebih baik dibandingkan risalah perut yang hanya meningkatkan ego atas perut kosong masing-masing.