“Koin Prita membuktikan satu hal: rakyat dapat melawan kesewenangan dengan cara damai. Nggak pake huru-hara. Kehidupan nafkah khalayak nggak keganggu. Para tuan besar pun terusik.” — Seorang relawan dalam sebuah percakapan di Wetiga, Desember 20019 (Dikutip dari buku #koinkeadilan Media Sosial dan Gerakan Massa, Rumah Langsat)
Ada yang masih ingat dengan Prita Mulyasari? Seorang ibu rumah tangga yang terjerat pelanggaran Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan pencemaran nama baik. Iya, Prita didakwa mencemarkan nama baik dokter dan Rumah Sakit yang menanganinya dengan mengirimkan sejumlah email berisi keluhan terhadap pelayanan Rumah Sakit tersebut.
Siapa saja yang melihat jeli kasus ini tentu akan bilang bahwa keadilan sedang diperjualbelikan. Dari kasus ini kemudian muncul sebuah gerakan #koinkeadilan. Ya, masyarakat kita nyatanya masih sopan dengan memilih menggalang #koinkeadilan ketimbang melempar kerikil-kerikil kecil kepada para tuan besar.
Baca juga: The Rise of Fintech: Saat Layanan Keuangan Jadi Lebih Efisien
Dalam buku #koinkeadilan Media Sosial dan Gerakan Massa, Imam B Prasodjo, seorang Sosiolog dari Universitas Indonesia bilang begini,
“Bicara gerakan pengumpulan koin keadilan bagi Prita Mulyasari mau tak mau kita harus melihat makna simbolik di baliknya. Kekuatan koin yang dikumpulkan rakyat sebagai media ekspresi untuk mendukung Prita, tidak terletak pada berapa besar rupiah yang terhimpun, namun terletak pada tajamnya satir yang tergantung di dalamnya. Tentu saja, seberapa efektif ketajaman koin sebagai senjata simbolik untuk menohok pihak-pihak yang menjadi sasaran tergantung pada kepekaan hari dan kecerdasan orang-orang yang terkena tohokan itu.”
Mungkin kalo #koinkeadilan bisa ngomong dia bakal bilang gini, “nih, emang elu doang para tuan besar yang bisa beli keadilan? Gue yang recehan juga bisa kali!”.
Baca juga: Untungnya Jadi Kaya: Bisa Pilih Jurusan Kuliah yang Gak Bikin Kaya
Tahun 2010 lalu, muncul juga gerakan “Koin untuk Bilqis”, gadis kecil yang saat itu baru berusia 17 bulan membutuhkan dana hampir 1 miliar rupiah untuk biaya cangkok hati. Nggak makan waktu lama untuk mengumpulkan uang sekitar 900 juta! Selang sebentar, baru pemerintah turun tangan untuk membiayai seluruh biaya perawatan Bilqis.
Nia Sadjarwo, founder dari gerakan Coin A Chance, pernah bilang begini, “if it is something that can help others, something that you’re going to be happy doing it, then believe in your cause and make time to make it happen”.
Siapa bilang receh nggak bisa buat bayar sekolah? Nyatanya dengan Coin A Chance, receh yang terkumpul akan ditukar dengan “sebuah kesempatan” bagi anak-anak kurang mampu agar mereka bisa melanjutkan sekolah.
Masih banyak contoh gerakan-gerakan pengumpulan receh untuk sebuah kemanfaatan sosial, nggak cuman yang ditulis di sini. Maka, bersyukurlah kamu yang berduit banyak. Jangan pernah menganggap receh itu duit nggak guna. Memang sih bayar parkir aja sekarang receh hampir nggak laku, tapi abis baca ini apa masih mau ngeremehin recehan?!
Baca juga: Dari Barter ke Uang: Why Working for Money Won’t Make Us Happy
Image header credit: tokopedia.com
Comments 1