Temen saya baru ada yang curhat, katanya disuruh cepet-cepet S2 di luar negeri sama bokapnya, mumpung masih muda dan ada uangnya. Padahal, dia mau bikin startup.
S2, ke luar negeri, Eropa pula. Dibayarin orangtua. Bisa sambil traveling, foto-foto di salju buat di-post di Instagram. Gak ada tanggung jawab cari uang, cuma belajar doang.
Kenapa ditolak?
Katanya sih, “Bukannya gue gak mau. Siapa juga yang gak mau S2 di Eropa? Tapi kayaknya bukan sekarang waktunya.”
Teman saya punya berbagai alasan. Pertama, baru lulus S1, ilmu yang didapet dari bangku kuliah itu lagi nempel-nempelnya di otak. Kalau gak segera coba diimplementasikan di dunia nyata, bakal hilang selamanya. Ini, belum ada pengalaman apa-apa, langsung S2. Ya ilmunya makin nambah tapi makin gak tentu arah karena makin banyak tahu tapi gak pernah praktik langsung.
Kedua, kata temen saya, opportunity itu lagi membentang di depan mata. Jejaring yang didapet selama kuliah, mulai dari temen dengan berbagai skill dan latar belakang, sampai jejaring ke dosen dan prakitisi, sayang kalau gak dimanfaatkan untuk berkarya saat ini juga. Mumpung lagi panaslah, katanya.
Baca juga: October: Month of Young and Rebellious
Ketiga dan terakhir, alasannya simpel:
“I don’t think going to graduate school is the next logical thing to do”.
Intinya, temen saya ini takut sebenarnya orangtuanya ini minta dia S2 simply karena ya biasanya orang mengambil path seperti itu. Atau ya, kalau habis S1 ngapain? Ya S2. Seakan-akan naik tingkat itu ya caranya begitu, ambil gelar yang lebih tinggi.
Apalagi, orangtuanya memakai alasan-alasan seperti “S2 itu bisa buat nambah koneksi” atau “biar gampang cari kerja”, padahal koneksi itu bisa didapet dari mana aja, dan dunia kerja modern di industri yang progresif udah gak terlalu ngelihat gelar lagi.
Nah, tapi di balik alasannya yang kuat itu, temen saya ini sebenarnya ngerasa agak “durhaka” sama orangtuanya, karena gimanapun yang namanya perbedaan generasi susah untuk saling mengerti.
“Iya sih, gue jelasin gue mau bikin startup. Tapi orangtua gue mikirnya gak ada uangnya, atau bahkan nyokap gak tahu startup itu apa”.
Baca juga: Formula Dasar Startup: Hacker, Hipster, dan Hustler
Katanya sih sudah menjelaskan, dan akhirnya orangtuanya membiarkan, karena anyway dia tetap bisa membuktikan kalau dia gak perlu minta uang untuk bikin startup (some freelancing projects help in this case).
Ini sih risikonya jadi young and “rebellious”, pasti sedikit banyak ada rasa bersalah ke kedua orangtua yang membesarkan kita dengan susah payah. Tapi dengan sedikit banyak wisdom (uhuk) yang saya miliki, saya mencoba memberi saran ke teman saya:
“Explain, try to compromise, but then try to be a little indifferent.”
Poin saya adalah, kalau sudah menjelaskan ke orangtua, lalu berusaha bernegosiasi (misalnya, “Pa, Ma, aku gak akan ngerepotin kok dari segi finansial”), ya harus menekan rasa bersalah yang ada dan jadi lebih sedikit cuek. Kenapa itu boleh? Karena ada suatu value dan misi yang kita percaya, yang mungkin gak bisa dimengerti orangtua sampai kapanpun.
Seperti yang pernah kita katakan di sini, being young and rebellious doesn’t always mean going against the good values; it also means doing what you believe is best when no one believes in it.
Baca juga: Anak Muda Gak Boleh Hidup Jadi Medioker!