“Indonesia itu selalu dianggap sebagai market yang besar, kita selalu dianggap punya banyak talenta dan punya banyak potensi. tapi selalu sampai di situ doang. Market, talenta, potensi, selesai. Tapi nggak ada yang jadi.” – Yansen Kamto
Sabtu (23/10) besok, rombongan presiden Jokowi bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, akan berangkat ke Silicon Valley dalam rangka exchange untuk memajukan industri teknologi di Indonesia. Salah satu peserta dalam rombongan tersebut adalah Yansen Kamto, Chief Executive KIBAR, yang membantu menyusun roadmap untuk pengembangan industri teknologi di Indonesia. Yansen ditemui oleh reporter Detik di sela-sela penjurian Telkomsel NextDev. Wawancara di bawah ini kami sadur dari inet.detik.com.
detikINET:
Ada agenda apa di Silicon Valley?
Yansen:
Yang menjadi agenda kita ke Silicon Valley, kita mau bertukar, tapi dalam posisi kita juga mau jadi pemain. Bukan ke sana kita mau membuka pintu untuk mereka menjajah market kita. Itu pesan yang sangat penting, pada saat ngomong pembinaan, kita berkunjung ke tempat yang jadi knowledge, ya kita mau bertukar.
Jadi apa yang perlu kita tukar? Pertama, startup kita ke sana, dan startup mereka ke sini. Mereka juga mau kok belajar tentang Indonesia. Kalau kita ngomong e-commerce, Amazon dengan Tokopedia berbeda. Indonesia itu challenge-nya di kepulauan, logistiknya beda.
Kedua, bukan hanya pertukaran startup, tapi juga pertukaran mentor. Mungkin kita bisa mulai dengan mentornya kita bawa ke sini. Dan ketiga, standardisasi dari modul pembinaan, kita mau mencetak tim sepak bola nih, pemain kita saja makannya mie instan. Sementara mereka ada ahli nutrisi, dan lain-lain.
Dari situ kita sudah memetakan pemain-pemain besar, modul-modul pembinaan terstandarisasi yang mau kita adopsi, tapi kita modifikasi juga sesuai dengan kebutuhan. Balik lagi, ini harus dikaitkan dengan kita mau jadi pemain, jangan sampai kita salah message. Ini bukan kita mau buka pasar kita buat asing masuk.
Benang merahnya, ekosistem kita butuh pembinaan, kita nggak cuma ngomong potensi, kita mau jadi pemain. Terus mau ada momen kunjungan, itu yang kita mau manfaatkan.
Baca juga: Replicating Silicon Valley: What They Do Right That We Don’t
detikINET:
Dari tadi kata kunci yang kami tangkap adalah soal pembinaan. Kenapa dengan pembinaan?
Yansen:
Indonesia itu selalu dianggap sebagai market yang besar, kita selalu dianggap punya banyak talenta dan punya banyak potensi. tapi selalu sampai di situ doang. Market, talenta, potensi, selesai. Tapi nggak ada yang jadi.
Kita itu harus memulai campaign untuk membentuk sebuah mindset ke anak muda, kalau kita itu juga bisa jadi pemain, pelaku. Kalau kita cuma market, apa hebatnya? Kalau cuma potensi, terus kenapa? Kita harus mulai berpikir kalau kita juga jadi pelaku, benar-benar harus dimulai dari punya mindset-nya saja dulu. Baru kita ngomongin bagaimana untuk membangun ekosistem.
Yang gue bayangkan begini, kalau mau jadi musisi, langkah pertamanya apa? Belajar musik, terus rekaman di studio? Studionya kita ada. Kalau cuma niat saja jadi musisi, terus rekaman, habis itu jadi CD, nah CD-nya diapain? Bagiin ke teman, di-review majalah musik, diputar di radio, tapi sebelum ke situ, sebelum ke rekaman, ekosistem industri musik ada yang namanya guru les vokal, sanggar tari, guru koreografi pun ada, studio rekaman ada, asalkan mau jadi musisi saja, selesai.
Lengkap, sampai akhirnya lagu kita diputar di radio, ditawarin Sony BMG, Nagaswara. Belum lagi ajang pencarian bakat. Ekosistemnya dari nol, dari nggak punya lirik sampai jadi, dipasarkan, mau sampai Spotify ada.
Tapi kalau ngomongin industri digital teknologi. Misalnya, gue anak UI Fasilkom mau lulus, terus mau bikin startup, terus mau ke mana? Gue mau latihan coding di mana, ada nggak? Nggak ada. Semua nggak ada. Analoginya pakai industri musik saja, orang akan mengerti.
Baru sekarang ada yang namanya co-working space. Itu ibaratnya cuma studio rekamannya saja, dan itu belum tentu jadi. Loe datang ke co-working space, apa bisa loe kerja sendiri? Ya nggak bisa.
Baca juga: Nadiem Makarim: Teknologi, Bukan Policy, yang Punya Dampak Terbesar di Indonesia
detikINET:
Lalu, apa hubungannya antara pembinaan dan Silicon Valley?
Yansen:
Jadi, gue menyodorkan sebuah proposal. Sebuah roadmap ke Pak Rudiantara yang akhirnya membuat gue diajak ke Silicon Valley. Itu gue bukan dipilih karena, ‘oh, Yansen selama ini aktif, ya bolehlah diajak’. Tapi karena gue tuh bawa sebuah proposal, sebuah roadmap. Gue punya visi menciptakan seribu digital entrepreneur dengan total valuasi USD 10 miliar di tahun 2020. Itu ada roadmap-nya.
Tahu-tahu kita mau bikin seribu entreprenur nggak ada roadmapnya, ya enggak akan bisa. Dimulai dari mana? Kita bikin dulu awareness program, seperti seminar dan community meet up. Di situ kita merangsang pembentukan ide.
USD 10 miliar itu dari mana? Ada kalkulasinya. Kalau gue bilang kita mau menciptakan seribu startup, pertanyaan berikutnya adalah, startup yang kayak apa? Yang bernilai itu seperti apa? Startup itu ada kategorinya. Bagaimana caranya supaya ditotal, valuasi dari nilai mereka itu bisa sampai USD 10 miliar atau Rp 150 triliun kalau pakai kurs Rp 15.000.
Untuk mencapai itu, kita mulai dari roadshow. Ini kan nggak bisa tiba-tiba jadi program seperti NextDev, ada roadshow dulu dong. Di 10 kota itu, kita menghadirkan orang yang sudah bikin, tapi tujuannya untuk membuka pikiran dulu. Baru dari situ, siapin tempat dan fasilitator untuk mereka belajar coding.
Ini semua dari nol, dari nggak ngerti apa-apa. Sampai akhirnya startup itu bilang, ‘Wah, gue pengen kayak Achmad Zaky bikin Bukalapak. Gue mau jadi kayak Nadiem bikin Go-Jek. Tapi gimana nih, gue kan nggak ngerti coding?’.
Nah, dari situ kita bikin workshop. Sudah belajar coding, baru ditaruh mereka di hackathon. Di hackathon itu tempat kita cari partner. Misalnya, kita gitaris. Kita bisa nyari drummer, bisa nyari lead vocal, bisa nyari bassis. Jadi, kita bikin prototipe di hackathon. Dari situ, baru kita taruh di bootcamp. Di bootcamp itu untuk memastikan suatu prototipe itu jadi, siap launch. Setelah itu, baru ditaruh di inkubator dan akselerator.
Dari situ, di roadmap yang gue proposed ke Pak Rudiantara, loe baru boleh dapat seed funding setelah lulus dari akselerator. Awal-awal mereka nggak boleh dapat funding dulu.
detikINET:
Nanti, roadmap-nya seperti apa?
Yansen:
Jadi, roadmap yang besar ini dibagi dua: pembinaan dan pendanaan. Gue cuma fokus di pembinaan. Tapi pendanaan ada banyak nih. Konglomerat, dari luar, dari korporasi. Bank Mandiri kan bisa funding, Telkomsel juga bisa funding. Pak Menteri kan katanya mau ngumpulin berapa triliun.
Dana CSR (Corporate Social Responsibility) loe ada berapa? Misalnya, Telkomsel bilang ada Rp 500 miliar, Bank Mandiri bilang ada Rp 2 triliun, Bank Indonesia bilang, wah gue butuh nih untuk meng-encourage entrepreneurship. Semua tinggal dikumpulin saja. Satu orang gopek gopek gopek, tahu-tahu sudah Rp 10 triliun. Pertamina kumpulin, Garuda kumpulin. Ini harus dijadiin program nasional.
Baca lanjutannya di: Q&A: Yansen Kamto, Temani Jokowi ke Silicon Valley, Siapkan Indonesia menjadi Pemain di Teknologi
Header image credit: cnbc.com