Gimana sih awal mula ceritanya membuat designrant?
Awalnya kita ngga berniat buat bikin akun yang ngekritik produk – produk gede kaya gini, tapi niatnya cuma mau ‘nyentil’ nih ceritanya designer-designer ‘amatir’ atau yang baru memulai. Kenapa emangnya mereka perlu kita sentil? Karena orang yang pertama kali menginisiasi designrant ini yang biasa kita panggil Om Bas (Basuki), dia ini sebagai otaknya lah kalo misal ada ide yang mau kita sentil. Beliau ini sering aktif di grup-grup sosial media UI/UX dan beliau merasa sedih melihat designer-designer yang baru memulai itu setiap bikin portfolio atau setiap majang hasil design, mereka pasti minta kritik dan saran.
Tapi, kritik dan sarannya gak pernah jujur dan lebih cenderung komentarnya flat aja gitu, kayak ‘bagus’ ‘keren’ dan sebagainya. Kalo kita lihat sendiri, design-design itu sebenarnya masih bisa di-explore lebih jauh. Designer-designer yang baru mulai itu mereka miskin banget buat dapet feedback. Jadi makin kesini mulai bisa memberi feedback yang jujur. Kalau bisa dimarah-marahin, yaa dimarahin deh. Tapi, Om Bas ini gak mau memberikan feedback sebagai sosok aslinya dia itu sendiri. Dia mau orang-orang itu melihat kritikan itu dari kritiknya bukan dari siapa yang mengkritik, makanya beliau membuat persona seorang Oom Basuki.
Apa kata Om Bas terkait dunia design di Indonesia?
Karena di dunia design khususnya di Indonesia, habit-nya seperti itu. Siapa yang mengkritik yang orang-orang lihat, bukan kritikannya. Makanya beliau mencoba muncul sebagai anonim yaitu Om Basuki dan beliau pada dasarnya memang suka marah-marah . Awalnya Oom Bas mulai dengan gerilya sendirian ke dribble atau akun instagram designer – designer baru ini. Trus sama Oom Bas, dia kritik deh tuh desainnya dengan gaya beliau. Ternyata feedback-nya dari designer-designer yang mendapat kritik sama Om Bas ini bukannya marah, tapi justru senang. Lama kelamaan, Om Bas merasa design yang dia kritik hanya itu-itu saja, akhirnya Om Bas mencoba mulai mengkritik ke skala yang lebih besar yaitu produk-produk yang sehari-hari kita pakai.
Waktu itu yang pertama kali Om Bas kritik adalah PornHub. Tapi yang Om Bas angkat itu bukan sisi jeleknya PornHub, karena PornHub di masyarakat dikenal sebagai platform yang tabu. Tapi coba deh kita lihat design itu dari ranah abu-abunya. Bahwa ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita apresiasi dari PornHub itu dari segitu fitur, UX dan sebagainya. Akhirnya benar, setelah diangkat banyak juga yang setuju kalo fitur-fitur dari PornHub itu sebenarnya kalau diterapkan untuk di platform video sharing lain itu akan sangat membantu, bahkan YouTube juga sebenarnya mengadaptasi beberapa fiturnya PornHub juga. Akhirnya banyak deh orang-orang request kritik berbagai aplikasi akhirnya sampai jadi designrant yang sekarang deh.
Seberapa concern designrant dengan UI/UX sebuah produk atau aplikasi?
Kita di designrant sebenarnya belum ada orang yang spesifik expertise-nya di bidang UI. Karena kalau kita bertiga, semuanya fokusnya di UX. Bahkan untuk si anak intern ini bukan di UX, tapi lebih ke social media analyst. Makanya dia yang ngurusin konten. Sebenarnya kalo teman-teman liat di konten-kontennya designrant itu, saya (Wahyu Hamberger) sendiri sedikit banget menyentuh ranah UI, karena bukan ranah saya untuk bahas itu, mungkin hanya kulit-kulitnya aja.
Seperti apa sih sebenarnya pentingnya UI atau UX terhadap sebuah produk? Singkatnya, selain marketing, UI dan UX itu memang ujung tombak dari produk. Walaupun, kami di designrant itu percaya bahwa UI dan UX itu sebenarnya dua hal yang berbeda tapi gak bisa jadi terpisah. Dua elemen itulah yang nanti akan menunjang atau memvalidasi kalimat-kalimat ajaib oleh tim marketing ketika user memakai produk. Jangan sampai, tim marketing bilang aplikasi atau produk ini bagus dan sebagainya, tapi begitu orang pake, ternyata aplikasinya loading terus (kayak J**nius).
Sebenarnya, awalnya kami berpikir, kenapa sih perusahaan banyak yang gak concern. Apakah karena designernya yang gak kompeten atau cuek dan sebagainya. Tapi, ternyata setelah mengangkat beberapa ‘sentilan-sentilan’ terhadap beberapa company besar (contohnya e commerce warna oren). Ternyata, kalo mau kita bilang itu masalah yang cukup kompleks. Walaupun, designernya kompeten, tapi tetap aja ‘politik design’-nya itu selalu banyak yang intervensi baik itu dari manajemen, C-level atau investor.
Lanjut….makin seru, nih!
Jadi, kalo designrant sendiri gak mau bilang kalau produk ownernya ini ‘bodoh’. Mereka pasti gak sebodoh itu, cuma yaa gimana, kalau semisal ada intervensi-intervensi dari pihak-pihak yang power-nya lebih kuat. Walaupun sebenarnya terdengar skeptis, designrant itu mau mencoba untuk menjadi corong bagi produk-produk tersebut bisa mendengar satu suara yang besar terkait keluhan-keluhan orang di lapangan. Karena mungkin selama ini mereka sering melakukan research atau review, tapi kalau hasilnya sudah sampai ke kantor, mungkin intervensi itu yang akan memperkecil suara-suara rakyat tadi. Harapannya sih sebenarnya dengan adanya designrant dan konten-kontennya bisa jadi semacama perwakilan dari keluhan orang terhadap apa yang kita kritik bisa jadi perhatian dari produk yang kita jadikan konten.
Ada satu contoh, salah satu konten yang sebenarnya itu adalah ‘titipan’ dari tim design internal mereka. Mereka bilang sama kita “om, ini tolong di-rant dong”. Kenapa pake acara nitip? Ternyata bener, ada intervensi dari atasan-atasan. Sebelum kita publish, kita explore dulu aplikasinya. Kalau memang kacau, kita akan angkat. Waktu kita angkat, rame tuh aplikasinya dan di kolom komentar semakin
diramaikan oleh orang-orang yang bekerja di bawah aplikasi itu. “Tuh, kan bener” “Apa kata gua” dan sebagainya.
Tapi, saya gak tau sih apakah kritikan itu nanti akan diteruskan lagi. Hehehe. (BERSAMBUNG)
Baca juga di sini: Q&A: Ngobrol Bareng designrant, Serikat Buruh 4.0 (Part 2)