Conclave Coworking Space, salah satu coworking space yang relatif baru di Jakarta ini lagi nge-hits banget belakangan. Pemuda lulusan SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) ITB, Marshall Tegar Utoyo dan beberapa rekannyalah yang jadi dalang di balik berdirinya Conclave.
Dua tahun lalu, mereka punya ide buat bikin coworking space yang bisa mengakomodir kebutuhan para entrepreneur baru mendirikan startup. Ya, apalagi kalau kantor bersama dengan tarif sewa terjangkau di semua kalangan.
Beberapa waktu lalu, Zliun sempat berbincang dengan Mas Marshall salah satu co-founder Conclave. Ini dia hasil bincang-bincang kami.
Apakah dari dulu Mas Marshall punya cita-cita untuk jadi seorang entrepreneur?
Sebenernya enggak. Saya memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur itu setelah lulus SMA, tapi saya selalu ingin melakukan sesuatu di bidang creative industry.
Gimana dengan keluarga Mas? Dukungan apa yang diberi oleh keluarga?
They’re pretty lax with things, they only have 3 rules – which are my rules of life too: pertama, tau batas; kedua, tau tempat; ketiga, tau waktu. In that order hahahahahahaha!
Kenapa Mas Marshall memilih untuk membangun sebuah coworking space? Punya pengalaman di sini sebelumnya, Mas?
Bisnis pertama saya dimulai dari kamar teman-teman saya, lalu pindah ke ruangan kecil, lalu pindah ke sebuah rumah yang lebih besar dan akhirnya pindah lagi ke gedung perkantoran. Saya pribadi nggak suka dengan gedung perkantoran, it’s very restrictive and all so I wanted to have my own building. Di sisi lain, balik lagi ke ketika saya memulai bisnis saya, saya jelas nggak membeli gedung perkantoran ini seluruhnya. Jadi, saya mikir kenapa nggak doing something kayak bikin shared office aja.
Terus, gimana ceritanya Mas bisa mulai membangun Conclave?
Saya membangun Conclave bersama beberapa rekan. Kami melakukan perjalanan ke beberapa negara sebelum membangun Conclave. Berkeliling dan melihat beberapa coworking space di Hongkong, Sydney, Singapore, Seoul, dan Tokyo untuk mendapatkan referensi suasana coworking space di sana, how do they work, dan juga what do they look like. Dan nggak lama setelah itu, voila! We have our first Conclave.
Apa kesalahan terbesar Mas Marshall sebagai seorang serial entrepreneur? Terus waktu itu Mas bisa mengatasi kegagalan ini?
Balik lagi ketika saya melakukan perjalanan ke beberapa negara itu, semuanya saya jalani tanpa banyak mikir. Makanya kita keluar banyak banget biaya buat hal ini. Kalo dipikir ya apa yang saya lakukan ini tuh irreversible, tapi kita memastikan kalo hal ini nggak bakal terjadi lagi. Co-founder Conclave, Rendy, Akbar, dan Adit, mereka adalah real hero buat saya. Sampai sekarang kita masih jalan bareng di Conclave meski berkali-kali kita ada kondisi yang buruk.
Dari pengalaman sebelumnya sebagai seorang entrepreneur, itu cukup membantu nggak ketika Mas mendirikan Conclave?
Iya, tentu aja dong. Saya bisa bikin perincian dengan lebih mudah, and some contacts here and there. Tapi sekali lagi, setiap memulai perusahaan baru akan selalu ada pengalaman baru. Buat saya, ini jadi perjalanan yang asik banget.
Boleh disebutin 3 kata yang menggambarkan coworking space?
Shared collaborative space!
Terus, apa sih yang bikin Conclave beda dari coworking space lain?
Conclave buka selama 24 jam. Coworking space ini punya berbagai macem fasilitas, salah satunya auditorium. Selain itu lokasinya juga mudah dijangkau dari mana-mana.
Menurut Mas, bagaimana seharusnya coworking space itu menciptakan sebuah dampak?
Kita terus mengajak dan mendorong interaksi antara business owner atau stakeholder yang di berkantor di Conclave yang mana hal ini cuman bisa kita temui di cafe-cafe gitu. Selain itu kami juga secara konsisten bikin acara untuk memperkenalkan Conclave, bikin Conclave jadi familiar buat banyak orang, dan balik lagi dari situ, we will create interaction between our tenants and guys from the events.
Bagaimana Mas Marshall melihat masa depan dari pekerjaan ini? Akankah “digital nomad” working style seperti ini bakal terus ada di masa depan?
Masa depan itu jadi sesuatu yang benar-benar sulit diprediksi, tapi secara logis saya bisa bilang kalo ke depan orang-orang makin banyak menggunakan konsep kerja dari jarak jauh seperti email yang menggantikan surat-menyurat biasa. Prosesnya lama, but it’s there.
Satu hal lagi, I don’t think face:face meeeting is replaceable, haha!
Belakangan, co-living mulai diterapin, not just co-working. Apa Mas kepikir juga buat melangkah ke sini kalau ada kesempatan nanti?
Ya, mungkin. Kami berafiliasi dengan perusahan properti yang punya beberapa hotel, villa, dan space lain. Jadi ada juga kemungkinan kami melihat lebih dalam kesempatan itu.
Terakhir, apa kelebihan dan kelemahan (jika ada) dari sharing economy menurut Mas?
Privasi bisa jadi masalah ke depannya, then comes security issues along the way. Well the most of the advantages in my opinion stem from the ability to have certain value for a fraction of the cost.
Comments 1