“Saya rasa kalau Indonesia semuanya berpikir untuk gotong-royong atau saling berkolaborasi, Indonesia bisa jadi bangsa yang besar. Bukannya malah berantem kayak Bapak-Bapak di atas sana.” – Audrey Maximillian Herli
Audrey Maximillian Herli adalah co-founder dari Riliv, sebuah aplikasi yang menjadi wadah konsultasi online untuk mendapatkan solusi masalah pribadi yang tepat dari para psikolog. Lewat Riliv, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Airlangga ini percaya bahwa setiap orang memiliki masalah dan membutuhkan dukungan orang lain.
Sejak kapan Audrey tertarik dengan bidang teknologi?
Saya sudah tertarik di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi, sejak masih berumur 7 tahun. Ketika itu, saya sering bermain di rumah tetangga saya yang punya komputer, namanya Pandu dan Fajar, yang pada saat itu masih memakai komputer Windows 95. Dan sejak saat itu, rasa keingintahuan saya terhadap komputer semakin besar, apalagi ketika mulai membaca sejarah komputer di buku cerita bergambar dan biografi para pionir industri teknologi seperti Bill Gates, Steve Jobs, Larry Page, dan lain-lain.
Bisa diceritakan insight yang melatarbelakangi Audrey membuat Riliv.co?
Social media tidak terlepas dari kehidupan manusia pada era digital ini. Suatu hari pada masa-masa tahun terakhir perkuliahan, saya iseng melihat-lihat timeline media sosial, saya menemukan banyak status dan tweet dari orang-orang di sekitar saya yang isinya kesedihan, kegalauan, dan bahkan depresi. Yang saya heran, tidak sekali atau dua kali melainkan setiap saya membuka timeline, selalu ada status yang berisi hal-hal tersebut. Kadang saya merasa kasihan dengan mereka. Bukannya malah menjadi lega, teman-temanya malah menertawakan dan bahkan ada yang mem-bully.
Saya langsung beranjak dan membuka laptop untuk melakukan riset singkat. Hasilnya ternyata mencengangkan, yaitu menurut WHO, ternyata setiap 40 detik satu orang bunuh diri akibat depresi di seluruh dunia. Dan dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi. Data itu saya dapat dari Kementerian Kesehatan.
Dari sini saya belajar bahwa di balik hiruk pikuk kemeriahan, kegembiraan, dan kesenangan dalam media sosial mulai dari selfie sampai nongkrong-nongkrong hits, masih banyak orang di luar sana yang mengalami kehidupan sehari-hari yang berat.
So why don’t we make platform to help these depressed people? Just because we don’t know them, doesn’t mean that they don’t need help.
Dampak seperti apa yang kamu harapkan tercipta dengan Riliv.co ini?
Prediksi badan dunia WHO tahun 2020, Depresi Mayor menduduki urutan ke-2 dalam beban global terbesar setelah masalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Ini dikarenakan sering kali gangguan depresi mayor bukan hanya berkaitan dengan kinerja orang tersebut yang mengalaminya tetapi juga lingkungan sekitar terutama keluarga.
Melalui Riliv, kami percaya bahwa setiap orang memiliki masalah dan membutuhkan dukungan orang lain. Riliv bertujuan untuk merealisasikan ketenangan pikiran pada semua orang di dunia.
Riliv menghubungkan orang yang memiliki permasalahan pribadi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang psikologi, untuk memastikan mereka mendapatkan saran yang terbaik. Identitas para penggunanya akan selalu terjaga karena mereka mendaftar sebagai anonim.
Kami berharap Riliv dapat menjadi suatu gerakan yang dapat menurunkan atau menghilangkan kesedihan, kegalauan, dan depresi sehingga dapat menciptakan lebih banyak senyuman di Indonesia.
“Be the change you want to see in the world”, kata Mahatma Gandhi.
Pernah mengalami kegagalan nggak? Lalu bagaimana menyikapinya?
Personally, saya tidak menganggap kegagalan sebagai suatu kegagalan. Kegagalan bagi saya adalah salah satu proses dalam suatu keberhasilan, sehingga untuk mengatasi kegagalan tersebut, saya tetap percaya dengan hal tersebut dan percaya everything is gonna be alright kalau kita terus memperjuangkannya. Kalau bicara tentang kegagalan yang pernah dialami, yaitu mencoba membangun bisnis digital pada saat awal-awal perkuliahan–tanpa bekal, pengalaman dan strategi apapun–walaupun gagal, I don’t see it as failure. I just see it as new knowledge to get success. So fail fast, fail forward.
Banyak nggak hambatan ketika awal mula membuat Riliv.co? Gimana kamu mengatasi hal itu?
Riliv.co pada awal tentu saja banyak hambatannya, mulai dari human resources, produk, dan bisnis. Namun tentu saja yang paling susah adalah reach dan meyakinkan para partner, serta mengedukasi pasar untuk menggunakan produk pada versi-versi awal.
Untuk menghadapi suatu hambatan, ada pepatah bilang
“Learn from the mistakes of others-you can’t live long enough to make them all yourself.”
Memiliki para mentor dan teman bisnis yang serupa dan terus belajar kepada mereka dapat membantu kita mengatasi hambatan yang ada, dan bahkan menghindari hambatan yang akan terjadi di masa depan. Bahkan saya pernah harus menunggu berjam-jam lamanya demi bertemu dengan mentor saya, but it’s worth it. Dengan belajar dari orang-orang yang berpengalaman, kita dapat mendapat pandangan, pendapat, dan pengalaman baru. Namun, jangan pernah merasa pintar dan merasa penuh dengan ilmu yang didapat. Mentor saya pernah berkata setelah merasa ilmu kita penuh, kita harus mengosongkan pikiran kembali dan bersiap untuk menerima ilmu-ilmu baru. Kalau Steve Jobs sih bilang stay hungry, stay foolish. Tetaplah lapar dan tetaplah goblok!
Suatu hari saya pernah membaca karikatur yang bergambar orang tua di ranjang rumah sakit dan bertuliskan:
“The number one regret that people have on their death beds is that they were never brave enough to pursue their dreams, but settled for what others expected of them.”
Mencintai hal yang kamu kerjakan dan berani untuk mengejar mimpimu, orang lain mungkin akan berkata tidak padamu, tapi apabila kita terus mencintai apa yang kita cintai dan percaya pada mimpi kita, pasti kita dapat meraihnya. Selain kita enjoy melakukannya, kita akan terus berjuang tanpa menyerah :).
Menurut kamu, mindset seperti apa sih yang harus dipunyai seseorang untuk sukses?
Mindset bermanfaat untuk sesama, karena kita sudah hidup di planet Bumi ini, at least as a human we have to take responsibility to contribute something to the world. Entah itu besar atau kecil, but we have to contribute something before we die karena kita semua, siapapun kita, bisa jadi seperti sekarang berkat orang lain juga, bukan cuma diri kita sendiri.
Apa jadinya dunia ini kalau semua orang hanya memikirkan ego dan kepentingan golongan masing-masing. Saya rasa kalau Indonesia semuanya berpikir untuk gotong-royong atau saling berkolaborasi, Indonesia bisa jadi bangsa yang besar. Bukannya malah berantem kayak Bapak-Bapak di atas sana. Hehe! No offense.
Header image credit: thedailybeast.com