Metode subscription alias berlangganan, kayaknya lagi menjamur di dunia dan dekat dengan kita. Pasti dari kita ada yang berlangganan akun seperti Spotify, Netflix, YouTube Premium, dan masih banyak lagi. Ternyata model ini juga bisa diterapkan dalam dunia penulisan atau sastra. Kali ini, saya berkesempatan mewawancarai penulis muda Indonesia, yaitu Adimas Immanuel yang kini menyalurkan karyanya lewat metode subscription di sebuah platform yang bernama Karyakarsa.
Penulis dari buku puisi “Pencurian Terbesar Abad Ini” berbagi pandangannya tentang tren model subscription pada dunia penulisan dan pengaruhnya dalam proses berkarya. Simak wawancaranya di bawah ini!
Sebagai penulis muda, apa yang menjadi keresahan Mas Adimas sendiri terhadap industri penulisan (perbukuan)?
Saya tidak punya keresahan apa pun soal industri perbukuan. Industri tersebut rasanya akan selalu baik-baik saja dan punya basis pembacanya dengan model bisnisnya sendiri. Mungkin saya lebih tertarik bicara soal kebiasaan membaca generasi sekarang yang perlahan dominan membaca karya-karya dari internet. Dan aktivitas saya akhir-akhir (seperti berkarya secara digital di KaryaKarsa) itu berusaha merespons kebiasaan tersebut.
Mengapa tertarik untuk menjalani model subscription untuk distribusi karya maupun pelatihan?
Saya berusaha merespons industri kreatif yang bergerak ke arah digital. Saya senang bermain-main dan mencoba hal baru, maka ketika tahu ada Karyakarsa yang bisa jadi medium baru distribusi karya, saya putuskan gabung.
Mengenai model subscription, saya hanya pilih cara yang mudah saja, kebetulan Karyakarsa punya sistem pembayaran yang variatif dan penetrasinya bisa ke berbagai macam profil pembaca.
Sejauh ini, apakah ada perbedaan yang terjadi pada sebelum dan sesudah menjalani model subscription dalam berkarya, baik dari proses berkarya maupun hubungan dengan para pembaca?
Mengenai subscription, tentu pembaca jadi punya kebebasan menentukan hingga kapan ia akan menikmati karya-karya kreator. Bagi saya sendiri, saya jadi punya kewajiban rutin untuk memperbarui karya di sana.
Dan utamanya, saya jadi bisa berinteraksi langsung dengan pembaca setelah karya tersebut terbit. Saya bisa tahu respons mereka, yang mereka suka, bahkan mendapat saran dari mereka untuk perbaikan ke depan.
Menurut mas Dimas sendiri, masa depan industri penulisan Indonesia itu seperti apa? Apa hal buruk dan baik yang bisa terjadi?
Saya kurang tahu detailnya, tapi rasanya akan baik-baik saja dan akan bermunculan penulis dan pembaca baru yang seimbang antara penikmat karya fisik maupun digital karena pada dasarnya kita menyukai cerita.
Mas Adimas juga mengajar tentang kepenulisan, apa mindset yang salah banyak calon penulis muda yang menurut Mas salah?
Paling banyak menganggap menulis, khususnya puisi, adalah sarana untuk curhat atau galau-galauan, padahal lebih dari sekadar itu. Yang utama perlu disampaikan adalah gagasan, bahwa pada akhirnya tema yang sering dibahas adalah soal romansa/percintaan itu lain soal. Menulis, kalau tujuannya untuk dibaca orang banyak, rasanya harus bisa bicara hal yang lebih besar dari kepentingan diri sendiri, tentang apa yang butuh dipahami banyak orang terhadap suatu bahasan.
Selain itu, banyak yang merasa penulis akan punya waktu/ritual khusus dalam menulis. Padahal menulis itu profesi yang biasa saja dan seperti keterampilan lainnya, hanya butuh ketekunan dan usaha tak kenal waktu. Tanpa keduanya, mahir hanyalah angan-angan.