“Publishing a book is like stuffing a note into a bottle and hurling it into the sea. Some bottles drown, some come safe to land, where the notes are read and then possibly cherished, or else misinterpreted, or else understood all too well by those who hate the message. You never know who your readers might be.”
― Margaret Atwood
Kita tahu kalau teknologi udah mengubah banyak industri, termasuk industri kreatif. Misalnya, salah satu yang pernah kita bahas, adalah gimana dulu musisi pergi tur buat promosiin albumnya. Sekarang, musisi malah jadiin albumnya layak “business card” untuk promosiin turnya.
Teknologi bikin pekerja kreatif jadi rentan dirugikan. Apalagi, konsumen sekarang makin mau yang gratisan. Tapi, dengan model bisnis yang tepat, pembajakan setidaknya bisa diminimalisir. Selain itu, tentu pekerja kreatif yang harus sekreatif-kreatifnya mencari aliran pendapatan alternatif, gak cuma dari jualan CD (untuk musik), tiket bioskop (untuk film), atau jualan buku (untuk publishing).
Nah ngomong-ngomong publishing industry atau industri penerbitan, gimana ya nasibnya sekarang? Ngaku aja deh, waktu kuliah dulu atau sekarang, sering fotokopi buku kan gara-gara mau hemat? Temen gue sendiri bahkan ada yang resourceful banget, sampe punya semua PDF buku kuliah, hasil dari skill luar biasanya mencari torrent.
Baca juga: Komunitas Lubang Jarum, Fotografi dengan Rasa, Bukan Teknik Semata
Oke, itu sih dalam konteks kuliah ya, karena mahasiswa pada kere (atau pelit aja, padahal kalo ngirit ngopi mahal tiga kali juga udah kebeli kali itu buku) dan nganggep buku kuliah itu gak penting. Tapi, selama masyarakat kita belum saling memfotokopi novel atau buku-buku populer, gue rasa industri penerbitan masih punya harapan.
Berikut beberapa alasan kenapa industri penerbitan gak akan mati:
1. Akan selalu ada mereka yang menghargai pengalaman otentik membaca buku fisik
Lo punya temen yang suka baca dan sering ngomong “Tetep beda tahu baca e-book sama buku biasa. Ada hal-hal gak tergantikan kayak sensasi lo ngebalik halaman…”
Ya well, basically gak selebay itu juga ngomongnya, tapi nangkep kan, kalo pengalaman baca buku fisik itu gak tergantikan? Dan gak cuma pengalaman membaca, tapi pengalaman mulai dari ke toko buku, jalan di antara berbagai section (terus mungkin berharap ketemu jodoh di toko buku kayak di film-film which probability is very small), lalu pulang ke rumah bawa setumpuk buku walaupun habis itu mesti makan Indomie terus di akhir bulan. There will always be a market for bookstores.
Baca juga: Chris Lie, Komikus Lokal dengan Karya Internasional
2. Banyak cara kreatif meningkatkan value buku!
Iya, emang pasarnya akan selalu ada, tapi apa cukup besar buat industri penerbitan tetep hidup?
Tentu, kalau penerbit dan penulis kerja bareng untuk ngelakuin cara-cara kreatif meningkatkan nilai buku.
Salah satu penulis Indonesia yang gue kagumi cara marketing-nya, adalah Ika Natassa. Ini novelis gak mau karakternya cuma hidup di buku, tapi dia mau karakternya selalu diingat pembaca. Maka dari itu, dia bikin akun Twitter untuk semua karakternya, di mana karakter-karakter ini aktif nge-tweet sesuai penokohan masing-masing. Niat banget gak, tuh? Dan akun-akun ini gak di-manage sendiri, melainkan ada beberapa admin yang emang ngebantu Ika buat ngejalaninnya.
Selain itu, karena novelnya kebanyakan adalah love story yang bikin cewek klepek-klepek, dia bikin suatu trip ke Singapura untuk para pembaca, yang menjelajahi tempat-tempat dan momen-momen sesuai cerita di novelnya. Heboh, dong? Dengan cara ini dia selalu bisa maintain loyalitas pembaca, dan udah punya pembeli pasti untuk novel berikutnya.
Baca juga: Udah Bukan Zamannya Produk Indie Cepat Mati
3. We always want to have that iconic collection
Kalau lo well-educated, lo pasti mau punya rak buku nan indah di rumah lo, despite the fact that mungkin gak semua buku itu lo baca. Tapi lo membeli buku fisik gak hanya untuk baca isinya, tapi buku juga adalah suatu aksesori dan–lebih dalam lagi–bisa jadi identitas. Sesimpel punya Monocle atau Kinfolk, bikin image lo jadi lebih hipster. Beli Das Kapital-nya Karl Marx, biar kelihatan well-read.
Seperti poin nomor 2, gimana cara buku itu sendiri bisa punya value, dengan berbagai gimmick dan lain-lain. Ya, kalau ada edisi spesial Harry Potter yang ngasih bonus eksklusif Marauder’s Map, gak nolak kan? *nerd alert* *anak 90an*
Anyway, esensi dari industri kreatif ya adalah “kreativitas” itu. Jadi, kalau industri kreatif awalnya muncul karena adanya kreativitas, kenapa gak bisa bertahan karena kreativitas juga? 🙂
Header image credit: ec.europa.eu