Bukan satu atau dua kali gue mendapati insight dari rekan maupun senior gue, yang usut punya usut, mengagendakan pencapaian pribadi dalam misi sosialnya.
Suatu hari, temen gue pernah menghubungi gue. Ga ada angin, ga ada ujan, tiba-tiba dia ngajakin buat bikin sebuah organisasi sosial. Pas gue tanya kenapa lo mau buat organisasi sosial, jawaban yang gue tangkep adalah kurang lebih seperti ini, “Ya, biar keren aja untuk pencapaian di CV”. Dengan santai gue jawab bahwa gue ga mau terlibat dalam program sosial yang ga punya dasar, ga jelas, program yang asal caplok, dan ga sustain.
Pernah juga, senior gue dengan nyinyir ngasih tau kalau si A tuh eksis ikut ini itu karena tuntutan jurusan perkuliahan (no hard feeling yaa jurusan HI). Ada juga si B yang nge-klaim atau take credit atas suatu acara di mana dia sebenarnya gak berkontribusi langsung di situ, hanya supaya dapat penghargaan, dan banyak macam bentuk eksistensi lainnya.
Bukan satu atau dua kali gue mendapati insight dari rekan maupun senior gue, yang usut punya usut, mengagendakan pencapaian pribadi dalam misi sosialnya.
Baca juga: Idealisme, Kemewahan Terakhir Yang Hanya Dimiliki Pemuda?
Ga salah sih, tapi kalau agenda pribadinya udah lebih besar daripada misi sosialnya, hasilnya ya begitu, programnya jadi asal jadi dan asal ada cuman untuk eksistensi bahwa: “Ini lho, gue tuh bikin perubahan.”
Coba amati organisasi sosial yang dibangun oleh anak muda di sekitar lo, tanyakan mengapa (why) mereka mau mendirikan organisasi sosial itu? Dan bagaimana (how) mereka bisa mencapai tujuannya itu. 100% dari mereka pasti bisa jawab. Tapi, coba selidiki kesinkronan, kekonsistenan, kelogisan jawaban dari dua pertanyaan itu.
Misalnya, kalau alasan organisasi A berdiri adalah karena ingin membantu yang kekurangan (why), logis ga kalau (how) caranya adalah dengan bikin program bakti sosial? Enggak dong. Kenapa? Karena program bakti sosial itu sifatnya temporer dan ga sustain karena ga mungkin bisa bantu orang dalam jumlah masif di wilayah tertentu dengan hanya kasih bantuan materi sesekali.
Baca juga: Apatisme Politik Udah Basi, Saatnya Anak Muda Lebih Peduli
Well, nyatanya ga sekontras itu sih yang ada di depan mata. Karena rata-rata organisasi sosial sekarang punya banyak program menarik dan unik tapi balik lagi ke (why) –nya yang bisa jadi ga relevan atas permasalahannya.
Terakhir, ga salah juga punya keinginan eksis atau atribut pencapaian sebagai founder atau co-founder suatu organisasi atau gerakan sosial, tapi ya, tolong timbangannya jangan berat sebelah ke keinginan untuk eksisnya dong.
Tulisan ini dibuat atas dasar pertanyaan: “Apakah pemuda pintar benar-benar punya hati untuk kebaikan bersama atau kebaikan pribadi?”
Baca juga: Menghargai Sejarah Indonesia Melalui Novel Grafis
Header image credit: info.theladders.com