Sudah hampir sebulanan timeline Facebook saya rame dengan postingan seputar LGBT. Mulai dari yang menghujat, mengutuk, mendoakan, membela, sampai yang menertawakan. Dari yang pura-pura mendukung sampai yang pura-pura ngata-ngatain. Yah, demi pencitraan gitu deh. Mesti bilang A biar bisa diterima di network A, B supaya diakui oleh network B, dan seterusnya.
Semua orang seperti terbelah dengan isu, either you’re with us, or you’re against us. Ada yang serius sampe ada yang serius banget, as if opini dan komentarnya dibaca sama Presiden. Atau Ratu Inggris. Atau siapalah.
Saya ngga mau terjebak di pro dan kontra. Saya orang yang tidak butuh diyakinkan kata orang untuk meyakini sesuatu, dan sebaliknya, tidak juga suka menghabiskan waktu dan upaya untuk meyakinkan seseorang atas apa yang saya yakini benar adanya. Karena saya yakin hidayah itu sulit untuk dipaksa.
Jadi di sini saya bukan mau membahas siapa yang salah atau yang benar. Ataupun membahas saya percaya yang mana.
Baca juga: Work Hard, Learn Hard, Try Hard
Yang mau saya bahas adalah, saya senang dengan adanya begitu banyak ide dan opini yang dikemukakan oleh orang-orang sebagai alasan pembenaran premis mereka. Saya jadi ngerti, siapa punya pandangan apa. Tapi yang lebih penting sih, saya jadi tahu siapa yang bisa berargumen dengan runut dan sesuai logika, dan mana yang tidak. Saya tidak menghakimi orang atas opini yang dia punya. Tapi saya jelas akan menghakimi orang kalau dia memberikan penjelasan yang logikanya awur-awuran.
Namun satu hal yang cukup mengganggu saya adalah, betapa mudahnya argumen ‘pakar’, atau media outlet tertentu (baik yang ternama sampe yang abal-abal) dikutip, baik sebagian atau seluruhnya oleh orang banyak. Perkataan itu kemudian dianggap benar dan diterima mentah-mentah, meskipun misalnya opininya tidak didasari premis yang logis, ataupun yang lebih parah, judul dan isinya sama sekali ngga nyambung. Yang penting muncul di timeline, kira-kira sesuai dengan isi hati, ya reshare aja. Beda-beda tipis sama argumen kita gak apa-apa lah, lagian males juga nulis argumen sendiri. Selain capek mikir, paling enak juga tinggal nambahin satu dua kalimat komentar yang mendukung atau mencela. Kalau nulis sendiri takut dimusuhin orang-orang soalnya.
Baca juga: Di Mana Ada Usaha, Di Situ Ada Jalan?
Balik ke poin yang saya mau angkat. Sebagian besar orang mungkin tidak merasa ada hal yang salah. Tapi ini membuktikan betapa media punya andil yang sangat besar dalam menyetir opini. Media mainstream maupun media hipster. Ini salah satu alasan utama mengapa dulu Orde Baru begitu panik diberitakan macam-macam oleh Tempo, sehingga mereka merasa perlu membredel majalah yang isinya mengkritik pemerintah melulu itu.
Intinya, kita suka atau ngga suka, media tetep berperan penting dalam ‘mengedukasi’ masyarakat. Masalahnya, seberapa banyak yang punya tanggung jawab untuk menyampaikan informasi yang benar? Bandingkan dengan berapa yang cuma mau dapat view banyak biar bisa pasang tarif iklan mahal?
Media punya kekuatan yang besar. Oleh karena itu, saya juga yakin media punya tanggung jawab yang besar pula untuk menyampaikan informasi yang sebaik-baiknya ke para penggunanya.
Saya pendukung free marketplace of ideas, sebuah kepercayaan di mana semua orang bebas berekspresi dan mengemukakan pendapat, dengan harapan ide yang terbaik akan menang dan muncul ke permukaan, didukung oleh publik sebagai sesuatu yang benar, sampai ada ide lain yang muncul dan menyanggah ide tersebut dengan argumen yang lebih baik.
Sayangnya, saya ngga percaya bahwa semua orang bisa diberikan tanggung jawab sedemikian besar untuk mencerna dan mengemukakan informasi yang reliable.
Baca juga: Sukses Itu Dimulai Dari Gagal
Oleh karena itu, kalian yang berada di pihak publik penerima informasi, juga punya tanggung jawab untuk mendukung media outlet yang benar dan bertanggung jawab. Semudah kalian tidak asal nyebar artikel gak jelas. Lebih bagus lagi kalau kalian menyempatkan diri untuk mengkritik yang salah. Paling bagus kalau kalian membantu (dengan berbagai cara) mereka yang baik dan bertanggung jawab agar bisa terus bersuara. Little thing that you do really makes a difference.
Saya percaya ada waktunya masyarakat Indonesia bisa dikasih dan ditumpahi berbagai hal, mulai dari yang negatif sampe yang positif, dari yang pinter sampe yang bodoh, tapi tetap bisa mengambil pembelajaran yang positif.
Cuma saya percaya sekarang belum saatnya.
Baca juga: Politik Kotor? Lalu Siapa Yang Membersihkan?
Image header credit: picjumbo.com