“For those climbing to the top of the food chain there can be no mercy.” – Francis Underwood
Di kampus kemarin, saya terlibat percakapan dengan rekan penelitian dan dosen pembimbing saya. Awalnya, kami hanya berdiskusi tentang apakah investor punya power lebih besar dibanding pemerintah. Diskusi ini berujung dengan omongan tentang betapa kotornya negara ini.
“Mau tahu sumber masalah negara kita? Ya partai politik! Selama partai politik masih ada, mau pemimpinnya seperti apa, cuma akan jadi boneka.”
Lalu dosen saya melanjutkan percakapan dengan sebuah cerita tentang seorang menteri yang terkena reshuffle baru-baru ini. Menurut dosen saya, menteri ini dekat dengan rakyat, seorang pengusaha sukses di sektor riil. Sebelum beliau di-reshuffle, terjadi suatu “konspirasi” (atau lebih halusnya, permainan) para mafia sektor keuangan untuk membuat seolah-olah kinerja si menteri ini jelek banget.
Baca juga: Power That Doesn’t Make a Difference is Not Power
Kenapa ini bisa terjadi? Ya kata dosen saya, karena sebenarnya sektor keuangan menguasai sektor riil. Jadi mafia-mafia sektor keuangan gak suka sama seorang menteri yang dekat dengan sektor riil dan ingin mengangkat harkat martabat para pedagang-pedagang kecil di sektor riil.
Saya yang notabene gak tahan dengerin cerita-cerita kotor dan konspiratif ini langsung sakit kepala, dan berpikir, “Aduh, apa saya di rumah aja ya biar gak perlu berlumuran dosa terlibat di dunia yang begitu kotor ini? Kayaknya di mana-mana mustahil buat menghindari permainan kotor.”
Selesai percakapan itu, saya pun mengeluarkan isi pikiran saya ke rekan penelitian saya, “Gue jadi ibu rumah tangga aja, apa?”
Baca juga: Jessica Alba Cares About a Better World, Can You?
Lalu teman saya menjawab, “Justru, dengerin cerita-cerita kayak gitu, lo harus makin semangat untuk jadi di atas. Memang sih, lo di rumah, terhindar dari permainan kotor, tapi sebenarnya lo itu “dimakan”. Di luar sana permainan kotor itu tetap terjadi, dan lo cuma jadi korban, terbawah di rantai makanan. Mending lo berusaha untuk jadi pemain besar, people on top–memang ada kemungkinan lo bakal difitnah, dibunuh bahkan sama mafia-mafia, tapi at least lo gak cuma jadi makanan.”
Mendengar celotehan teman saya itu, saya pun tersadar, memilih untuk menghindari “permainan besar” di luar sana adalah tindakan pengecut. Apalagi nih ya, kalau saya dan kalian semua termasuk golongan orang-orang yang beruntung: bisa sekolah, hidup selalu berkecukupan, gak punya kekurangan fisik dan mental. Masa udah dikasih kelebihan begitu banyak, cuma memilih diem di rumah?
Memang sih, susah untuk tetap “bersih” kalau kita keluar dari rumah atau zona nyaman. Ditinjau pakai common sense atau logika, dua sisi punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang berpikir kayak temen saya, ada juga yang mikir kayak saya sebelumnya, pengen “cari aman” aja. Tapi terus saya inget, kalau ditinjau dari sisi agama pun, kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan. “Berlomba-lomba” kan berarti mengerahkan segala sumber daya dan kemampuan yang kita punya, ya? Diem di rumah tanpa kegiatan positif sama sekali dan jadi pengecut kayaknya bukan bagian dari “jihad” atau berlomba-lomba dalam kebaikan deh.
Baca juga: Soft Power: Jadi Powerful Gak Harus Pake Cara Keras
Saya pun sampai pada suatu kesimpulan bahwa everyone should do something, anything, for the greater good. Ya, berusaha maksimal aja sesuai sumber daya dan kemampuan masing-masing. Makanya, malu kalau orang-orang beruntung kayak saya dan kalian yang membaca ini, yang berpendidikan, punya rumah untuk ditinggali, bisa makan tiga kali sehari dan bisa berfungsi secara sehat cuma mau bersenang-senang aja.
Apalagi para sosialita, punya uang dan followers banyak kok tapi karyanya gitu-gitu aja?
Header image credit: forbes.com