Sering banget motivator bilang kalau kita harus punya rasa percaya diri untuk sukses. Tapi ternyata, percaya diri itu beda tipis lho dengan rasa ego. Masalahnya, kalau percaya diri akan membawa dampak baik buat kita, sedangkan ego malah sebaliknya.
Cy Wakeman, seorang pelatih kepemimpinan dari Amerika Serikat bilang, rasa percaya diri ada ketika kita memiliki keyakinan pada kemampuan diri sendiri, sedangkan ego ada karena kepentingan pribadi. Seseorang yang mengutamakan egonya akan terus menerus mencari pembenaran alias validasi diri. Ia mencari persetujuan dan penghargaan atas apa yang dia lakukan agar dilihat sebagai orang yang “benar”.
Hmm, kita udah kita udah jadi orang yang percaya diri atau mengedepankan ego ya?
Kalo kita nggak paham bedanya ego dan percaya diri, ternyata bisa berdampak buruk terhadap karir kita. Kalau kita mengutamakan ego, bisa-bisa pekerjaan tim malah dikerjain sendiri gara-gara merasa tugas itu adalah bidang terbaik kita. Walaupun bisa jadi kerjaannya selesai dengan baik, tapi kalau kita terus memimpin tim dengan ego, maka dikhawatirkan ke depannya enggak ada lagi orang yang bisa ngerjain tugas sebaik atau seperti yang kita lakuin, karena mereka enggak dapet kesempatan mencoba.
Perlu diingat, bekerja dengan passion dan dedikasi sama sekali berbeda dengan sikap ingin benar sendiri dan menghakimi orang lain soal kinerjanya.
Mengambil pandangan egosentris akan menutup pikiran kita pada solusi atau perspektif baru, dan juga menghambat kita untuk mengambil pelajaran yang ada. Perkembangan organisasi atau perusahaan juga akan terhambat bahkan berhenti. Tinggal nunggu waktu aja sampai drama di kantor mulai terjadi. Tapi supaya hal itu nggak terjadi, ada beberapa hal yang perlu kita pahami.
Stop making it all about you!
Batasi keinginan untuk jadi orang yang selalu benar sekaligus tahan rasa ingin membuktikan kesalahan orang lain. Yang kita butuhkan adalah menambah nilai dan kontribusi pada tujuan perusahaan kita. Tetap fokus sama apa yang bakal bikin kita lebih baik secara emosional.
Tahan pola pikir defensif
Enggak ada untungnya punya sikap defensif, apalagi kalau kita adalah seorang pemimpin. Dibandingkan jadi orang yang langsung bilang apa yang ada di kepala alias “asbun” untuk ngekritik orang, labih baik tarik nafas dalam-dalam dan merespon dengan lebih objektif. Dengan pikiran yang jernih, maka sebagai pemimpin kita bisa memberi keputusan dengan lebih bijak.
“Kita bisa salah, dan orang lain juga bisa benar”
Memang lebih mudah untuk mengkritik rencana atau ide orang lain dan menunjukkan resiko kegagalan mereka. Tapi, dibandingkan menilai tindakan atau keputusan orang lain, coba tawarkan keahlian kita dan apa yang bisa kita bantu.
Drive for result and learning
Ketika ada masalah, memang lebih ramai yang cari “salah siapa”, tapi sebenarnya itu nggak produktif. Sebaliknya, fokuslah belajar dari pengalaman. Fokus pada upaya apa yang masih bisa dilakukan untuk perbaikan. Dengan pandangan itu, pengalaman akan berfungsi sebagai momen yang bisa diambil pelajarannya dan memungkinkan kita untuk merumuskan pendekatan yang lebih tepat dan mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan.
Pada akhirnya, kepercayaan diri akan membuat kita unggul, tetapi ego hanya akan menahan kita. Mengakui perbedaan dan bertindak sesuai itulah yang memisahkan antara yang terbaik dan yang paling cerdas dari yang lain.