Ungkapan Amien Rais, Ketua Dewan Penasihat BPN Prabowo-Sandi soal aksi people power memang cukup kontroversial. Ia menyatakan akan menggelar aksi people power atau unjuk rasa secara besar-besaran jika nanti ditemukan kecurangan dalam hasil Pemilu 2019.
Dilansir dari Tempo.co, Amien mengaku lebih memilih people power ketimbang menggugat hasil pilpres lewat Mahkamah Konstitusi. “Kami tak percaya MK, karena MK itu bentukan politik pemerintah. Kami akan take over dengan cara kami sendiri,” ucapnya di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Senin, 1 April 2019.
Amien mengatakan, people power yang dia maksud serupa dengan aksi gerakan mahasiswa saat menumbangkan pemerintahan rezim Orde Baru. Menurutnya, people power merupakan gerakan demokratis dan konstitusional yang dijamin oleh undang-undang. Dalam orasinya, ia menekankan bahwa people power akan berjalan secara damai. “Cuma kalau sampai (pemilu) ada kecurangan kita diam saja, kita menjadi orang yang rada pekok (agak bodoh),” ujar Amien.
Hmm, mari kita kuliti. Bagi saya, selain enggak relevannya ungkapan Amien yang menyamakan rencana aksi people power dengan gerakan massa pada 1998, saya bertanya-tanya; kenapa baru bergerak setelah Pemilu selesai? Kenapa kita enggak mengawal Pemilu mulai saat ini juga?
Entah apa yang mendasari pernyataan Amien, mungkin beliau terjebak nostalgia peran masa lalunya dalam menjatuhkan Presiden Soeharto. Aksi people power memang beberapa kali berhasil dilakukan di berbagai negara dalam menumbangkan pemerintahan yang otoriter seperti di Mesir dan Irak. Namun, apakah kondisi di Indonesia saat ini sedang berada di bawah pemerintahan yang otoriter? Faktanya, justru pemimpin otoriter besar kemungkinan akan ditinggalkan pendukungnya karena tidak memberikan hak-hak politik pada rakyatnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menilai pernyataan Amien sebagai bentuk provokasi untuk mempengaruhi masyarakat menolak hasil Pemilu dengan cara demonstrasi. “Dalam negara hukum dan demokrasi, ada mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran dan sengketa Pemilu,” kata Karyono kepada Tempo, 1 April 2019.
Oke, mari kita bahas soal mekanisme pelaporan yang tepat jika kita menemukan kecurangan dalam Pemilu.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, mekanisme komplain sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang lembaga yang menangani dan menyelesaikan sengketa pemilu, baik sengketa proses maupun sengketa hasil. Jika menemukan adanya kecurangan, maka kita bisa melaporkannya ke Bawaslu. “Pertama ada pengawas pemilu, ada pemantau yang melihat, dan juga ada saksi. Tentu kalau ada dugaan kecurangan, manipulasi, kalau ada laporan akan ditindak,” kata Abhan.
Bawaslu sebenarnya sudah merilis website pl.bawaslu.go.id untuk sebagai akses melaporkan kegiatan yang diduga sebuah kecurangan di Pemilu. Namun pelapor wajib datang ke kantor pengawas, paling lambat tujuh hari sejak ditemukannya pelanggaran tersebut. Pelapor harus melampirkan bukti dan mengisi Form A1 dan membawa identitas.
Kalau merasa ribet karena harus datang ke kantornya, tenang aja, ada banyak cara yang lebih sederhana. Selain website resmi dari Bawaslu, ada beberapa platform yang bisa digunakan untuk melapor.
Misalnya di Pintarmemilih.id, ada kanal Lapor Bawaslu yang memberikan kita semua akses untuk melaporkan ujaran kebencian dan juga disinformasi (hoax) soal Pemilu. Caranya, tinggal copy url konten yang diduga mengandung ujaran kebencian dan disinformasi atau copy url profil sosial media yang menampilkan konten tersebut, lalu laporkan ke kanal yang telah disiapkan.
Selain itu juga ada platform JagaPemilu.com. Abdul Malik Raharusun, Inisiator dari JagaPemilu.com, mengatakan platformnya bisa menampung siapapun ataupun institusi manapun yang ingin melaporkan adanya tekanan yang dialami terkait pemilu. Pengguna tinggal mengisi form, memberitahu asal instansi, bentuk kecurangan, dan menyertai bukti-bukti dokumen atau foto. Tidak ada persyaratan data identitas untuk melapor, namun terbuka opsi untuk memberikan nomor atau alamat email agar informasi dapat diverifikasi kebenarannya.
Hal-hal di atas berguna banget supaya kita bisa memantau masa kampanye, terus gimana sehabis pencoblosan? Nah, ternyata kita juga masih bisa berkontribusi setelah hasil Pemilu keluar lewat KawalPemilu.org. Platform yang bekerjasama dengan Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) ini, mengajak masyarakat menjadi relawan untuk memantau hasil penghitungan suara tiap TPS.
Bagi yang ingin ikut serta menjadi relawan, cukup mengakses laman upload.kawalpemilu.org. Kita bisa mendaftarkan diri dengan menggunakan akun Facebook atau Twitter pribadi. Relawan cukup memotret C1 plano. Jangan lupa, terdapat dua lembar C1 plano Pilpres, 18 lembar C1 leg DPR. Relawan juga bisa memfoto salinannya di Kantor Lurah di hari berikutnya. Selanjutnya, relawan harus mengunggah foto beserta data-nya ke laman upload.kawalpemilu.org.
Dari total 800.000 TPS, KawalPemilu baru mendapatkan 6.700 relawan. “Semakin banyak yang jadi relawan, maka tujuan kami sebagai alternatif tabulasi pemilu yang transparan akan tercapai,” kata Ainun.
Jadi pilih mana, ikutan aksi people power setelah Pemilu atau mulai kawal prosesnya lewat smartphone kamu aja dari sekarang?