“Good things happen when you set your priorities straight.” (Scott Caan)
Semua tahu kerasnya Ibukota dari padatnya jalan, dan pergumulan di dalam sepuluh gerbong kereta Commuter Line. Banyak cerita dari mereka yang dua kali sehari nggak absen ngerasain pasang badan di kereta. Dua gerbong kereta khusus wanita di paling depan dan belakang rangkaian, bahkan populer dengan ganasnya ibu-ibu berebut bangku. Katanya, gerbong campur lebih manusiawi. Banyak yang nggak tahan dengan egoisme dan kompetitifnya para wanita soal secuil space di kereta.
Ingat kasus gadis muda yang misuh-misuh di Path soal ngasih bangku ke ibu hamil? Berakhir dengan dihujatnya ia oleh seluruh netizen, menuding busuknya moral anak muda yang nggak bisa menghormati orangtua. Padahal nggak kehitung banyaknya anak muda lain dengan pikiran senada, tapi nggak diutarakan aja. Pada akhirnya emang banyak ibu hamil, ibu bererot anak, dan lansia yang udah memelas berdiri, tapi yang muda duduk dan asik sendiri. Entah itu main hape atau (sok) tidur, atau emang nggak peduli.
Baca juga: Melawan Pembajakan dengan Model Bisnis yang Tepat
Kalau boleh sok tau aja, masalahnya ada di miskonsepsi “bangku prioritas” di kereta. Banyakan kita jangan-jangan pahamnya, yang namanya bangku prioritas ya cuma yang dua baris nyempil di sudut gerbong. Soalnya kan cuma itu yang diklaim “priority seat”, sampai ditempel stikernya segala.
Mindset yang seharusnya dipunya, semua bangku adalah prioritas. Kalau gitu pasti pada angkat pantat dan ngasih tempat. Yang ada pengalaman saya, udah diminta sopan sama petugas, malah nyolot, “Lho, di bangku prioritas aja, emang kenapa?” Kalau aja semua orang paham, semua bangku adalah “bangku prioritas”.
Menentukan skala prioritas adalah skill wajib siapa aja. Mulai dari pelajar SD, mahasiswa, sampe yang udah kerja. Kalau besok sidang skripsi, ya berarti malemnya nggak usah begadang nonton drama Korea. Atau, meski musim liburan gini tapi kalau ada tanggung jawab yang harus diselesaikan, ya nggak usah ngoyo jalan-jalan dan nggak ingat prioritas. Kalau ada beberapa pekerjaan sekaligus yang mesti dikelarin, rembuk mana yang harus dikejar duluan, mana yang bisa didelegasikan.
Baca juga: Pengen Stand Out from the Crowd? Jangan Sekolah!
Kalo katanya hidup adalah soal pilihan, ya maksudnya skala prioritas ini. Misal, kita dihadapkan pada dua pilihan kerja. Satu di korporat ternama, satu lagi di startup biasa. Kalau gitu, jadinya kita harus nge-list pro dan kontra-nya agar tau faktor mana aja yang kita prioritaskan. Prioritas juga soal force majeure dan nyawa manusia sih. Kalau lagi kerja keras sampe berguna buat umat manusia bahkan alam semesta, tapi tiba-tiba ada emergency call dari keluarga. Pikir dulu, prioritas kita yang mana.
Gampangnya tau skala prioritas ya, pilih mana yang kira-kira kita paling menyesal kalau kelewatan atau kehilangan. Ujung-ujungnya pasti soal tujuan hidup. Prioritas (terlepas dari force majeure dan nyawa tadi) adalah apapun yang sejalan dan paralel dengan tujuan itu. Kayak nasehat “The Naked Man” untuk Tracy “The Mother” dalam serial How I Met Your Mother, kalau visi dan tujuan hidupmu ingin memberantas kemiskinan, berarti mulai dari sekarang, setiap langkah yang kamu ambil adalah yang mendukung tercapainya tujuan tadi. Which is jadi alasan yang membawa The Mother masuk jurusan Ekonomi.
Baca juga: What is Networking, Actually?
Menentukan skala prioritas dimulai dari pemahaman akan hal-hal dasar dan sederhana. Nggak sekedar tahu teori, tapi juga bisa praktekin sendiri. Menentukan skala prioritas bisa dimulai dari gerbong kereta. Setelahnya, kita bisa lebih terbuka dan paham bahwa dalam hidup, kita juga punya “difabel, ibu hamil, dan lansia” kita sendiri. Prioritas kita, yang nggak bakal kita biarkan berdiri dan menunggu.
Header image credit: lotzofwallpapers.com
Comments 1