Pemimpin Perempuan di Organisasi Sekolah: Kenapa Gak? – Di masyarakat yang homogen dan patriarki, ada anggapan kalo pemimpin yang ideal harus dari kalangan laki-laki. Ini yang bikin perempuan jadi sulit buat kepilih sebagai pemimpin. Ya walaupun kemampuannya udah oke banget. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) tahun 2021 pun bikin kita menghela napas. Faktanya, partisipasi perempuan Indonesia secara politik masih cukup tertinggal, yaitu cuma 17.4%. Dan ada di peringkat 5 dari 10 negara di ASEAN. Nah, khusus di provinsi Jawa Barat, Indeks Pembangunan Gender (IPG) tercatat sebatas 89,20. Jadi, provinsi ini tuh satu-satunya provinsi di pulau Jawa yang punya capaian IPG di bawah nilai nasional. Apa sih penyebab rendahnya partisipasi perempuan di negara kita? Ada banyak faktor, di antaranya adalah masih kuatnya norma dan struktur sosial yang ngebatesin partisipasi perempuan itu sendiri.
Tapi, Syukurnya Ini Gak Kejadian di Zahwa!
Eits, tunggu dulu, emangnya siapa Zahwa? Oke, jadi Zahwa Nurlaila Indah Laksana ini adalah siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2, Kota Bandung. Nah, pada bulan November 2021 lalu dia terpilih sebagai Ketua OSIS. Kerennya, ini adalah kali pertama di sekolah tersebut, seorang siswi bisa kepilih jadi ketua OSIS. Jelas, dia ngerasa bangga dan seneng!
“Masih banyak orang di sekitar saya memandang bahwa kehadiran pemimpin perempuan bisa menjadi permasalahan tersendiri. Padahal pada dasarnya, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan. Saya menjawabnya dengan keberanian dan pembuktian bahwa seorang perempuan yang dianggap lemah dan rendah sebenarnya tetap pantas menjadi seorang pemimpin,” ujar Zahwa, pelajar kelas XII yang juga peraih medali emas tingkat nasional pada Olimpiade Sains Pelajar Nasional 2021.
Cerita Zahwa Menjadi Pemimpin Perempuan di Organisasi Sekolahnya adalah Sebuah Sejarah!
Sejak berdiri di tahun 1991, MAN 2 Kota Bandung belum pernah punya ketua OSIS dari kalangan siswi. Dan Zahwa beruntung, 30 tahun kemudian, ia terpilih jadi ketua OSIS dengan mekanisme pemilihan yang demokratis. Bahkan ngalahin dua calon siswa lainnya! Tapi, terpilihnya Zahwa ini bukannya gak ada halangan. Soalnya masih ada stigma pemimpin perempuan yang masih sering ia denger dari temen-temennya. “Laki-laki yang diutamakan jadi pemimpin, masa perempuan mau jadi pemimpin juga, sih? Apakah tidak malu? Bukan kodratnya. Aku aja sebagai perempuan enggak berani buat jadi ketua OSIS selagi masih ada laki laki,” ujar Zahwa, niruin omongan rekan-rekannya.
Baca juga di sini: Membangun Toleransi dan Keberagaman Lewat Permainan, CREATE Ajak 8 Sekolah!
Meski Begitu, Niat Zahwa Buat Jadi Pemimpin Perempuan Gak Goyah Sama Sekali!
Perkataan sinis yang datang dari temen sebayanya justru bikin ia semakin termotivasi! Dia jadi makin percaya diri dan bergerak maju! Apalagi dengan restu dan dukunga orang tua, temen-temen, dan juga para guru, Zahwa ngemantepin diri buat ikut seleksi. “Orang yang kontra pasti banyak, tetapi yang selalu mendukung dan membantu saya jauh lebih banyak,” tuturnya. Di sekolah, Zahwa gak berdiri sendiri. Beberapa guru di sekolahnya punya peran penting buat ngedorong Zahwa dan siswi lainnya buat lebih berani bersuara! Dan maju buat jadi seorang pemimpin.
Momon Sudarma, guru bidang Geografi dan Sosiologi di MAN 2 Kota Bandung ini turut bercerita tentang terpilihnya Zahwa sebagai ketua OSIS perempuan pertama di sekolahnya. Pria yang akrab disapa ‘Pak Momon’ ini sering nyemangatin anak didiknya terkait kepercayaan diri dan kepemimpinan.
“Saat menjabat di bidang kesiswaan di tahun 2010 dan Penjamin Mutu Madrasah di 2020 lalu, saya memiliki ruang untuk bisa diskusi dengan sejumlah anak, termasuk di dalamnya memberikan motivasi atau penguatan kepada siswa yang memiliki minat, bakat, kemampuan atau ide dalam mengembangkan kegiatan kemadrasahan, atau kegiatan kesiswaan,” ujar Momon.
Dan Ternyata, Bukan Cuma Zahwa yang Pengen Jadi Ketua OSIS Perempuan di Sekolahnya!
Selain Zahwa, menurut Momon, beberapa tahun sebelumnya, pernah ada juga siswi yang juga nyampein niatnya buat ikut di pemilihan calon Ketua OSIS. Tapi, malah gak jadi.
“Di sinilah letak dan posisi pentingnya atmosfir sosial. Mereka hadir tidak di ruang kosong. Mereka hadir di tengah masyarakat yang memiliki narasi dominan dalam keagamaan, dan bahkan cenderung homogen. Oleh karena itu, untuk kompetensi sosial, tidak cukup sekedar bermodalkan mau dan ingin,” ujar Pak Momon.
Pak Momon juga sering ngejelasin kalo pemimpin itu harus punya 3B; Brain, Behavior, Beauty. Apa pun gendernya, seorang pemimpin harus punya marwah, perilaku, serta kepintaran yang baik buat nyelesaiin masalah.
Ada Juga Cerita dari Enjang Bakar, Guru Pendidikan Kewarganegaraan di MAN 2 Kota Bandung
Beliau pernah ikut kegiatan bertajuk “Guru Membina Damai: Kolaborasi untuk Toleransi,” yang digelar oleh program Creative Youth for Tolerance (CREATE), Juli-Agustus 2021. Di pelatihan ini, Enjang dan beberapa guru SMA/Sederajat se-Jawa Barat dapet banyak materi soal toleransi dan hak kesetaraan dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah tentang siswa dan siswi yang harusnya punya kesempatan dan perlakuan yang sama.
Abis ikut pelatihan tersebut, Enjang, Momon beserta perwakilan dari kepala Madrasah dan guru lainnya mulai ngebahas kondisi di MAN 2 Kota Bandung. Mereka kemudian berinisiasi buat ngebahas lebih jauh terkait kondisi kesetaraan gender di sekolah. Dan juga sekaligus ngebahas tentang pemberian kesempatan buat siswi ngecalonin diri sebagai ketua OSIS.
Diskusi Tersebut pun Berbuah Baik
Zahwa akhirnya terpilih sebagai siswi pertama yang memimpin organisasi di sekolahnya. Harapannya, hal ini bisa ngeubah pandangan dan stereotip gender di tingkat sekolah Islam.
“Selain di OSIS, di lingkungan Madrasah juga sempat ada ekstrakulikuler yang dipimpin oleh siswa perempuan. Ada Syaima Putri dan Rabi’ah Al-’Adawiyah, yang menjadi Ketua Umum Ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja. Kemudian, Putri, sempat menjadi Ketua Umum English Club. Padahal dalam ekstrakurikuler tersebut banyak juga siswa laki-laki yang menjadi anggotanya,” tambah Momon.
Kurangnya kepercayaan diri, dan narasi yang terbentuk bahwa laki-laki lebih baik sebagai pemimpin, masih jadi hambatan bagi perempuan sejak di level sekolah. Zahwa dan siswi lainnya, seringkali berhadapan sama kondisi kepengurusan dalam organisasi sekolah yang nunjukkin kalo perspektif perempuan lebih lemah buat ngedominasi urusan publik.
Pembagian peran yang sejak usia dini diajarkan, bikin hubungan antara laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang gak setara.
Masyarakat pada umumnya kemudian ngebagi peran antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial dan kultural makin memperkuat peran laki-laki buat jadi seorang pemimpin. Terpilihnya Zahwa sangat pihak pengurus madrasah apresiasi. Mereka ngenilai kalo Zahwa hadir sebagai siswa perempuan yang mampu menunjukkan karakter serta prestasi yang baik. Dirinya bahkan menjadi salah satu siswa berprestasi dalam sejumlah kompetisi akademik.
“Sebagai tenaga pendidik maupun sebagai lembaga, madrasah memiliki kewajiban untuk memberikan penghargaan yang proporsional kepada keanekaragaman potensi peserta didik. Bukannya hanya pada gender, tetapi juga minat, serta bakat dan kemampuannya. Penghargaannya pun bukan sekedar materi finansial, tetapi juga memberikan ruang terbuka untuk mengembangkan aktivitas dan kemampuannya,” jelas Momon.
Dan Ini Tekad Zahwa Ke Depan Sebagai Pemimpin Perempuan!
Meski masih ada di bayang-bayang stereotip pemimpin perempuan, Zahwa bertekad ini bisa sebagai pembuka baik buat pemilihan OSIS yang aka datang, “Tantangan saat ini adalah terus meningkatkan versi terbaik dari diri sendiri. Mampu bijak dalam menerima segala masukan dan kritikan. Selain itu, bagaimana caranya agar tetap menjadi pemimpin yang disenangi, memberikan kenyamanan ketika orang lain berada di dekatnya, dan memberi manfaat bagi semua orang.”
Terpilihnya Zahwa sebagai ketua OSIS juga jadi contoh praktik baik yang nunjukkin kalo MAN 2 Kota Bandung terbuka terhadap isu kesetaraan gender. Dan aktif ngedorong partisipasi dan keterlibatan siswi dalam proses pembuatan keputusan di sekolahnya.
Tentang CREATE
*Konsorsium CREATE merupakan inisiasi Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis bekerja sama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development. Konsorsium CREATE bersama-sama membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan pluralisme dan toleransi di kalangan siswa. CREATE mengadopsi pendekatan berbasis seni dan budaya yang inovatif sebagai titik masuk mempromosikan toleransi dan pluralisme di tingkat sekolah menengah.