“If we adopt the same collaborative mindset and practices that got to the moon and back, and that built the International Space Station, we can alleviate poverty—and do much more.”
― Astronaut Ron Garan
Buat yang belum tahu, industri kreatif itu punya berbagai subsektor. Ada periklanan, arsitektur, penerbitan dan percetakan, TV dan radio, pasar barang seni, musik, kerajinan, fashion, kuliner, riset dan pengembangan, aplikasi dan software, desain, permainan interaktif (game), seni pertunjukan, serta video, film, dan fotografi.
Capek juga ngetiknya. Banyak lho ternyata, ada lima belas. Dan subsektor-subsektor ini saling terhubung.
Baca juga: Salah Kaprah Ekonomi Kreatif Indonesia
Anto Motulz, seorang creative director yang udah punya segudang pengalaman di berbagai bidang kreatif, pernah menulis suatu blog post berjudul Rahasia Ekonomi Kreatif yaitu Berani Berkolaborasi. Di tulisannya, Motulz bilang kalau di Indonesia, masih banyak pekerja kreatif yang belum berani berkolaborasi, dalam arti mengerjakan satu proyek–yang seharusnya adalah proyek kolaboratif–sendiri. Ini kata Motulz:
“…saya masih sering menjumpai seorang animator yang untuk membuat karakter tokoh, konsep visual, art directing, bahkan sampai penulisan cerita pun.. harus dia yang mengerjakan. Alasannya? Karena dia yang merasa paling paham konsep di balik animasi yang akan dibuatnya.”
Menurut Motulz, ngerjain semua sendiri gak salah kalau proyek tersebut sifatnya hanya eksperimen. Tapi, kalau Indonesia benar-benar mau besar dari industri kreatif, pekerja-pekerja kreatifnya mau gak mau harus berkolaborasi.
Kita balik lagi ke lima belas subsektor industri kreatif di atas. Alasan gue menjabarkan daftarnya, adalah supaya kita bisa punya gambaran gimana subsektor-subsektor ini terhubung.
Baca juga: Industri Ilustrasi Dalam Negeri, Riwayatmu Kini
Kalau di tulisan Motulz, kolaborasi yang dimaksud adalah dalam skala proyek. Ya, misalnya, untuk bikin suatu video animasi, dibutuhkan gak cuma animator, tapi juga character designer, music director, art director, dan lain-lain,
Nah, dalam skala besar, coba kita pikirin. Seorang musisi, yang berkarya di industri musik, pasti akan manggung lewat konser-konser. Konser-konser ini masuknya udah bukan di industri musik lagi, tapi di industri seni pertunjukan. Seorang musisi pastinya ngebikin video klip, dan ini udah jatahnya subsektor video, film, dan fotografi. Pas video klip atau lagunya ditayangin di TV dan radio, ya itu udah masuk ke subsektor TV dan radio.
Ada dua hal yang penting sih dari sini. Yang pertama, seperti kata Motulz, pekerja kreatif harus berani berkolaborasi. Kalau mau serius, udah gak zaman lagi sok-sokan mau kerja sendiri. Kalau semuanya pada “tahu diri” tentang strength-nya alias spesialisasinya masing-masing, maka output suatu proyek kolaboratif akan jadi jauh lebih berkualitas.
Kedua, dengan kita sadar kalau antar subsektor itu terhubung sangat erat, maka tiap subsektor harus mendukung satu sama lain untuk bergerak maju. Istilahnya, kalau banyak komikus, tapi gak ada penerbit, mau gimana?
Untuk bangun suatu ekosistem, dibutuhkan sinergi dari semua jenis pekerja kreatif dan semua subsektor industri kreatif. Jadi, jangan ngerasa kalau spesialisasi atau subsektor tempat lo berkiprah itu gak penting. Dan terakhir, ayo lebih berani berkolaborasi!
Baca juga: Apa yang Beda dari Industri Kreatif Saat Ini