Dari kelas tiga SD hingga lulus SMA, saya hidup dan dibesarkan di sebuah restoran milik orang tua di Pontianak. Sebuah restoran kecil, hanya sepuluh meja saja. Mau makan apa saja, hampir selalu bisa terwujud. Tinggal bersabda, ayam goreng langsung terbang, dan mendarat di meja makan. Mewah, kata beberapa teman kecil saya di jaman itu. Dan tentunya ini sesuatu yang selalu saya syukuri hingga hari ini.
Rasa syukur itu tidak muncul dengan sendirinya. Saya beruntung dilahirkan oleh seorang ibu yang luar biasa. Ibu yang mengajarkan saya tentang makna berbagi. Secara berkala dan teratur, saya selalu diajak mengunjungi panti asuhan dan berbagi makanan dengan anak-anak di sana sejak saya masih SD. Sebuah konsep tentang tidak semua manusia di negeri ini bisa makan “semewah” saya kemudian tertanam di kepala saya hingga sekarang.
Setelah kuliah, saya melanjutkan perjalanan mencari jati diri menuju ke Jakarta di awal tahun 2003. Di awal-awal proses adaptasi dengan kerasnya ibukota, seorang teman mengajak saya mengunjungi Citos. Saat itu adalah pertama kalinya saya secara resmi merasakan “gini toh rasanya jadi Anak Gaul Jakarte”. Bukannya keren, tapi saya malah merasa kere. Dengan gaji pas-pasan sebagai seorang AE nubie di sebuah biro iklan, saya gagal paham mengapa es teh tawar bisa dihargai Rp 35,000 di sebuah kafe. Lebih pusing lagi setelah saya melihat harga makanannya. Akhirnya kami makan paket hemat di sebuah restoran siap saji.
Pengalaman pertama “nongkrong” saya itu menjadi salah satu milestone penting di hidup yang keras ini. Keras bagai karang, bro. Saya berpikir apakah hidup harus sesusah ini. Masa sih makan saja harus sesusah ini. Sejak itu saya bersumpah bahwa saya tidak mau hidup susah seperti itu. FYI, di jaman itu para warteg founder masih bisa menyajikan nasi, bakwan sayur, sesendok mie goreng, plus kuah sarden (minus ikannya) dengan harga tiga ribu rupiah saja. Mungkin karena para founder di jaman itu belum terjamah pemodal ventura. Mungkin. Ongkos abang ojek (tanpa G) dari Karet ke Benhil masih lima ribu rupiah saja. Indahnya jaman itu.
Jaman telah berubah. Iya saya mengerti. Rupiah semakin melemah. Saya bukan pakar ekonomi ataupun pakar keuangan. Tapi saya tahu bahwa lemah syahwat saja bisa dibantu obat kuat (bukan pengalaman pribadi). Apakah benar bahwa rupiah lemah tidak ada obat kuatnya? Oke anggap saja rupiah akan terus melemah, tapi semangat kita jadi terus melemah.
Buat teman-teman yang bisa makan “mewah”, jadi lupa dengan anak-anak di “panti asuhan”. Mari berbagi. Buat teman-teman yang masih makan di warteg, jangan menyerah. Dan seringkali makan di warteg sambil keringatan itu lebih menyenangkan kok, dibandingkan makan sok cantik (table manner kalo Boso Jowo-nya) plus kedinginan di mal-mal yang penuh kepalsuan.
Dan buat tukang ojek, yuk kerja lebih keras mengantarkan makanan ke sana kemari. Kan sekarang sudah ada aplikasinya. Asal jangan bikin order palsu ya. Ingat bohong itu dosa. Dan ingat, semua orang di negeri ini harus bisa makan. Terakhir, saya berdoa (sambil bekerja lumayan keras) semoga banyak anak-anak panti asuhan yang bisa memulai usaha warteg atau menjadi tukang ojek yang mengantarkan makanan ke orang-orang yang membutuhkan. Amin!
Comments 1