Tulisan ini terinspirasi dari cerita seorang teman Tionghoa gue yang pernah mengalami diskriminasi waktu kecil, mulai dari dipanggil “Cina Anj*ng”, dilabrak pada saat pertandingan basket, dipalak waktu main Timezone, dan sebagainya hanya karena dia “orang Cina”. Nah, disini cerita gue bermula.
Sejak lahir gue tuh sudah dikelilingi oleh banyak stereotip. Boleh dibilang cerita tentang diskriminasi dialami langsung oleh orang-orang yang gue sayangi. Sebagai keluarga Batak yang merantau di Lampung, gue dan keluarga memang harus ekstra keras berjuang untuk diterima di masyarakat yang homogen.
Gue ga mengalami langsung diskriminasi sebagai seorang Batak, but my sister and father did.
Satu. Bersyukurlah anak-anak orang tua gue terlahir dengan muka semi ayu (read: ga garang). Nah, kakak gue adalah yang paling cantik di keluarga. Sayang, kecantikannya bikin dia jadi bahan bully di sekolah atas nama suku Batak. Dia dilemparin bola kalau olahraga, dihadang setiap pulang sekolah untuk diejek, dilemparin hewan tringgiling, sampai pernah diusir dengan statement, ”Dasar Batak, pergi aja sana!”. Memangnya apa yang salah dengan Batak?
Baca juga: Bangga Sama Indonesia itu Ngaku Lokal, Bukan Sok Internasional
Dua. Bokap gue memulai bisnisnya dari nol di Lampung. Pada saat bisnisnya mulai berkembang, gue ga tahu apa yang terjadi tapi tiba-tiba warga pernah datengin rumah gue, nyeret bokap gue keluar rumah dan digebukkin. Usut punya usut, Bokap gue pernah memecat salah satu karyawannya yang ga becus kerjanya. Ga tau gimana hal itu bisa jadi bahan yang memicu emosi warga. Lagi lagi atas nama Batak.
Hampir benar sih bahwa Batak yang lo temuin di jalan adalah orang yang suaranya lantang, tegas, dan galak. Atau Cina yang pinter nyari duit di berbagai macam bisnis. Atau Jawa yang lembut, kalem, dan sopan. Atau bentuk stereotip lainnya. Tapi, hampir benar bukan berarti benar. Dan stereotip ga bisa lo jadikan sebuah dasar alasan untuk melaksanakan tindakan penghakiman karena lo manusia yang dikasih Tuhan hati dan logika.
Pernah denger tentang self-fulfilling prophecy? Ini adalah istilah yang diajarkan di ilmu komunikasi bahwa seorang manusia berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang. Dan ketika ekspektasinya negatif maka secara tidak sadar ia bergerak memenuhi ekspektasi itu.
Baca juga: Our Own Superhero in Our Own Universe
Artinya stereotip berlaku di semua elemen kehidupan. Kalau lo ngatain orang dengan panggilan bodoh atau tolol dan semua orang di sekitarnya banyak yang bilang gitu, maka lo berkontribusi atas kebodohannya karena secara ga sadar dia akan hidup dengan ekspektasi “orang-orang nganggep gue bodoh, jadi ya gue harus bertindak bodoh.”
Pernah bayangin jadi orang-orang yang hidup untuk melawan stereotip itu? Meyakinkan diri lo kalau lo ga bodoh, ga tolol, ga jelek, ga lola, ga hopeless, dan ga lain-lain yang buruk.
Orang-orang itu ada dan nyata di sekitar lo. Albert Einstein yang dikeluarin dari sekolah karena dianggap bodoh. Walt Disney yang dianggap ga realistis. You name it lah.
Siapa pun lo, dari suku mana pun, ras apa pun, di status sosial apa pun, LAWAN! Lawan semua sterotip negatif yang memengaruhi mental. Oke?
Baca juga: Renungan di Hari Pendidikan Nasional: Siapkah Kita Berubah?
Header image credit: intrigue.ie