Ngelawan Perundungan di Sekolah bersama CREATE! – Sekolah tuh tempat proses belajar dan mengajar yang punya peran super penting di dalam dunia pendidikan. Selain berkaitan sama kegiatan pembelajaran, sekolah pun harapannya bisa jadi ruang aman buat seseorang tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dirinya. Tapi, sayangnya, kasus perundungan mencoret nilai-nilai tersebut.
Yap, kasus perundungan atau bullying yang masih jadi PR terbesar di dunia pendidikan
Wildan—seorang siswa SMAN 14 Gowa, Sulawesi Selatan, punya cerita soal ini. Sadly, ia pernah jadi korban perundungan sama teman-teman sebayanya. Perundungannya pun bukan cuma melalui verbal, tapi juga kekerasan fisik. Untuk perundungan verbal, ada berbagai kalimat yang secara terang-terangan mengejek fisik Wildan, sepert “Jerawatmu banyak sekali, pasti gaya hidupnya jorok! Kulitmu hitam sekali, tidak pakai skincare? Kelebihanmu itu apa, sih?” Perkataan kasar kayak gitu gak cuma keluar dari temen-temen di sekolahnya, bahkan ada yang dateng dari guru yang mengajar di sekolah.
Semua perkataan itu akhirnya jadi beban tersendiri buat Wildan. Ia ngerasa hidup di lingkungan yang selalu bikin dia down. Padahal di sisi lain, ia punya beban buat ngeraih nilai yang baik pada setiap mata pelajaran di sekolah. Tapi, gimana caranya? Wildan aja gak ngerasa jadi dirinya sendiri. Soalnya dia terpaksa buat pura-pura jadi orang tegar di tengah semua kejadian perundungan yang terjadi. Terus, terus gimana respons Wildan?
“Aku memilih untuk menutup ruang pertemananku dengan yang lain. Bahkan belakangan aku sadar, aku mengalami gangguan kesehatan mental. Aku sering mengalami cemas berlebih untuk sesuatu hal yang belum terjadi. Akibatnya, aku jadi sering pusing, sepertinya mereka (pelaku perundungan) iri sama saya.”
Dan…CREATE pun hadir~
Creative Youth for Tolerance (CREATE) adalah program yang fokus pada isu kesetaraan dan toleransi. Nah, sekolah Wildan tuh gabung di program ini. Berangkat dari kekepoannya dan ada keinginan buat memperbaiki keadaan dirinya, Wildan gabung buat menjadi salah satu peserta di kegiatan CREATE. Di kegiatan tersebut, Wildan ngedapetin pengetahuan baru mengenai toleransi, keberagaman, dan juga kesetaraan gender. Dalam banyak kesempatan, ia juga bisa bertemu dan bertukar pendapat sama temen-temen baru dari berbagai sekolah di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Jawa Barat. Pertemuan-pertemuan tersebut ngasih banyak perspektif baru bagi Wildan tentang keragaman toleransi. Selain itu juga, Wildan pun dapet dukungan dari temen-temen barunya tersebut.
Program CREATE bekerja sama dengan pihak sekolah ngasih pemahaman kepada para siswa terkait isu toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender. Caranya melalui berbagai kegiatan menarik seperti lokakarya hingga pameran seni dengan topik terkait. Sebagai salah seorang peserta, Wildan ngerasa terbantu banget dengan adanya kegiatan ini, ia jadi punya kesempatan buat konsultasi gratis sama psikologi. Dia juga belajar buat nyampeiin rasa gak nyamannya kalo lagi dapet perundungan dari temen-temennya.
“Saya tidak suka diperlakukan seperti ini, kamu mungkin tidak tahu apa yang sudah kualami di hidupku. Coba kalau kamu sebagai korban, bagaimana perasaanmu? Jadi, tolong jangan ulangi kalau kamu tidak suka dapat perlakukan begitu,”
Gimana dengan respons sekolahnya Wildan?
Sekolah punya komitmen buat ngebantu siswa yang lagi mengalami masalah. Senada dengan hal tersebut, Suriyati—wali kelas Wildan sekaligus guru seni budaya ngejelasin peran guru buat berkomitmen membantu para siswa yang lagi ngehadapi masalah. Menurut Suriyati, selain guru Bimbingan dan Konseling, setiap wali kelas harus bisa ngasih pertolongan pertama bagi siswa yang lagi ngalamin masalah di sekolahnya. Kalo masalahnya cukup besar, maka penyelesaian bakal beralih ke bagian kesiswaan. Siswa yang terbukti ngelakuin kesalahan pun dapet sanksi beragam: Mulai dari pemanggilan orang tua, gak dapet izin buat ikut proses pembelajaran di kelas, sampe skorsing.
Bersama program CREATE, para guru juga mulai mengenalkan kembali pentingnya pembelajaran toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender bagi siswa, Harapannya, pembelajaran toleransi jadi nilai utama buat siswa bersosialisasi di luar sekolah. “Guru-guru tidak hanya mengajar, bukan cuma mendidik, tapi juga perlu mengembangkan minat dan bakat siswa dengan melibatkannya ke berbagai kegiatan di luar sekolah atau kejuaraan antar sekolah lainnya,” kata Suriyati.
Riset tentang kasus perundungan di Indonesia
Hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 menemukan, sebanyak 41,1% pelajar di Indonesia pernah ngalamin perundungan (bullying). Riset PISA yang diinisiasi oleh Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) sendiri merupakan studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA ini sejak tahun 2000. Dalam riset itu juga, persentase angka perundungan siswa di Indonesia pun tercatat tertinggi kelima di dunia, di bawah Filipina, Brunei Darussalam, Republik Dominika, dan Maroko. Angka siswa korban perundungan ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD yang hanya sebesar 22,7%.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, di sepanjang tahun 2021 saja, terjadi sebanyak 17 kasus kekerasan di dunia pendidikan yang melibatkan peserta didik dan tenaga pendidik. Kasus terbanyak adalah tawuran pelajar (10 kasus), disusul kasus perundungan (6 kasus), dan kekerasan berbasis SARA (1 kasus).
Lewat berbagai kegiatan peningkatan kapasitas serta dukungan dari guru seperti Suriyati selama ini, Wildan berharap lingkungannya bisa nerima dia dengan segala kekurangan yang ia miliki. “Kekurangan ada karena kita adalah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Di sini aku ingin berkontribusi bersama CREATE untuk menyadarkan masyarakat sekitar tentang kesetaraan gender, keberagaman, dan toleransi,” tuturnya.
*Konsorsium CREATE merupakan inisiasi Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis bekerja sama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development. Konsorsium CREATE bersama-sama membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan keberagaman dan toleransi di kalangan siswa. CREATE mengadopsi pendekatan berbasis seni dan budaya yang inovatif sebagai titik masuk mempromosikan toleransi dan keberagaman di tingkat sekolah menengah.