Michelle Tedjakusuma, Wijaya Ciputra, dan Jane Clorinda awalnya hanya menjual produk soft-baked cookies di acara-acara charity gereja. Lama-kelamaan, muncul banyak dorongan dari teman-teman gereja untuk menjual produk cookies yang populer di negara-negara Barat ini sebagai bisnis profesional di Indonesia. Dari situ, lahirlah Sparky & Mag.
Awalnya, ketiga founder ini harus memutar otak bagaimana agar calon konsumen lebih familiar dengan produk soft-baked cookies, tentunya dengan biaya minimum di tengah persaingan dengan berbagai produk cookies yang sudah dikenal masyarakat. Mereka pun mencari jalur distribusi yang bisa membantu memperkenalkan produk Sparky & Mag. Akhirnya mereka memutuskan untuk memperkenalkan Sparky & Mag lewat coffee shop.
“Kami ingin menciptakan product experience yang berbeda, yaitu bila konsumen mengonsumsi Sparky & Mag cookies secara bersamaan, akan mendapatkan rasa yang berbeda,” kata Michelle.
Baca juga: Nathalisa Octavia dan Jane Odelia: Traveling Jadi Inspirasi untuk Mendirikan From Tiny Islands
Selain itu, Sparky & Mag mulai mengikuti local bazaar. Di situ, Michelle, Wijaya, dan Jane kembali bermain dengan product experience. Pembeli bisa menikmati cookies dalam keadaan hangat layaknya cookies yang baru keluar dari oven.
“Di bazaar pertama kita, yaitu Basha Market chapter 2, kita mendapatkan banyak sambutan dan recognition dari market.”
Salah satu kesulitan yang kerap dihadapi Sparky & Mag adalah masalah riset dan pengembangan.
“Dalam hal R&D, kadangkala kami menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga, dan biaya, namun hasilnya ternyata tidak sesuai harapan dan standar kami, sehingga kami harus kembali dari titik nol. Namun, dalam menghadapi hal-hal seperti itu, kami berpikir bahwa ‘Ah, so that doesn’t work’. Kami mengambil itu sebagai pengalaman untuk membuat produk maupun service yang lebih bagus ke depannya,” tutup Michelle.
Baca juga: Theria Sofa dan Jasmine Tease: Ketika Tidak Ada Produk Menarik, Mari Ciptakan Sendiri
Header image credit: audreysapron.wordpress.com