Suatu ketika saat pulang sekolah, seorang siswa SD kelas 3 tertunduk lesu. Ia berjalan perlahan, nampak ada sesuatu yang dipikirkannya. Di tangannya terdapat kertas ulangan matematika dengan nilai yang tidak seberapa buruk, yaitu nilai 6, namun itu adalah rekor nilai terendah yang pernah ia dapatkan. Ketika melewati sebuah selokan kecil, terbersit sebuah ide yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Secepat kilat kertas ulangan tadi dirobeknya, dimasukkan ke dalam selokan, dikubur dengan tumpukan batu pula. Aman. Habis perkara.
Kegagalan. Itulah yang dialami anak tadi. Dan itulah yang dialami oleh seluruh makhluk hidup di jagat raya ini. Namun, kata itu di lingkungan kita sepertinya sangat sulit untuk mendapat tempat.
Sejak masih kecil kita dipacu untuk menjadi rangking satu. Menjadi yang terbaik, namun seringkali lupa ditanamkan alasan dan etika untuk mencapainya. Akhirnya, anak-anak tersebut tumbuh dewasa dengan mental ingin menjadi yang terbaik, namun dengan menghalalkan segala cara.
Banyak kasus yang terjadi, kalau kita mau jujur. Ambil saja contoh : bocoran Ujian Nasional, mencontek ketika UAS, sogokan ratusan juta rupiah untuk masuk Fakultas Kedokteran, sogokan untuk bisa jadi PNS….silakan dilanjutkan sendiri daftarnya.
Faktor Lingkungan
Lingkungan kita juga mengkondisikan bahwa kegagalan adalah sebuah aib, bahan gosip, dan bahan olok-olok. Entah berapa kali kita mendengar ejekan teman-teman ketika kita menanyakan hal bodoh di kelas. Berapa kali pula kemarahan orang tua memuncak ketika nilai anaknya jeblok, tanpa mencari tahu duduk permasalahannya, dan memecahkan solusinya.
Guru-guru di kelas juga akan dengan mudahnya men-judge bahwa anak yang nilainya jelek adalah orang yang tidak punya masa depan, sumber masalah, dan pengaruh negatif. Fokus dari pendidikan adalah nilai rata-rata, kelulusan 100%, dan berbagai macam tolok ukur yang tidak memberi tempat pada kegagalan.
Budaya Apresiasi
Suatu ketika, Prof. Rhenald Kasali pernah menceritakan tentang kisah anaknya ketika bersekolah di USA. Link tulisan beliau dapat diakses disini. Pada suatu ketika, Anak beliau mendapatkan nilai E (Excellence) yang berarti sempurna untuk pelajaran mengarang Bahasa Inggris, padahal sang Profesor tahu bahwa tulisan anaknya jelek sekali. Singkat kata, beliau mendatangi guru sang anak dan memprotes penilaian tersebut yang beliau nilai tidak masuk akal.
Namun, guru tersebut justru tersenyum. Dengan sabar beliau menjelaskan bahwa, memang tulisan sang anak tidaklah bagus. Namun, untuk ukuran anak yang bahasa ibunya adalah bukan Bahasa Inggris dan baru pindah ke USA, tulisan itu adalah karangan yang sangat hebat!
Budaya apresiasi. Apresiasi terhadap proses, terhadap perjuangan. Itulah yang diberikan oleh guru-guru disana. Bukan budaya menghukum dengan motivasi berupa kata-kata ancaman seperti, “Awas”, “Kalau tidak tercapai nanti akan…” dan lain sebagainya.
Budaya apresiasi akan menimbulkan semangat untuk berkarya lebih baik lagi, menjadikan kita menjadi manusia yang berani berkreativitas, mencoba hal yang baru, melakukan inovasi, dan tentu saja, tidak takut salah. Sedangkan budaya menghukum membuat kita menjadi pribadi yang minder, miskin inovasi, takut salah, dan tidak kreatif.
Saya tidak gagal, saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil – Thomas Alva Edison
Saya Gagal, So?
Waktu akan mengikuti ujian nasional SMA dulu, ada celetukan yang secara tidak langsung membuat saya sadar untuk merayakan kegagalan. Waktu itu ada yang berkata, “Gagal UN tidak akan membuat kita mati.”
Kadang kita lupa, bahwa ketika kita melakukan suatu kecurangan karena takut gagal, maka sebenarnya kita merugikan diri sendiri. Keberhasilan yang tercapai hanyalah semu dan tidak berarti.
Ada satu budaya bagus di Silicon Valley yang bisa kita petik. Bagi komunitas teknologi dan startup disana, entrepreneur yang gagal justru dilabeli sebagai entrepreneur yang berpengalaman. Mereka juga menuliskan startup postmortem failure report – semacam laporan kegagalan perusahaan yang dirintis beserta analisis penyebab dan juga solusi yang bisa dipetik.
Kegagalan bukanlah aib, kegagalan adalah pelajaran yang berharga.
Oh ya, saya lupa bercerita bahwa anak SD yang saya ceritakan tadi adalah saya.
Penulis adalah CEO Jejakku, sebuah marketplace trip organizer dengan challenge social contribution dan reward bagi traveler
Comments 2