Orang bijak pernah bilang kalo masa depan itu bisa diramal! Bukan sihir, bukan cenayang, terus gimana caranya? Jawabannya satu, dengan berbuat yang terbaik di masa sekarang. Ibaratkan gini, kalo kita pengen banget nih bisa liburan kemana gitu yah, sebut aja deh, ke Thailand, kalo modal mengkhayal siang bolong tanpa ngapa-ngapain sih susah ya, kecuali kalo tiba-tiba menang undian berhadiah, lain ceritanya kalo kita mau berusaha, entah itu nabung atau daftar kegiatan yang dilaksanain di Thailand, and it will happen.
Begitu juga kalo berangan-angan punya bisnis yang secara profit menguntungkan, jaringannya luas, dan gak sekadar survived, tapi juga sustain. Perencanaan yang tepat, salah satunya dengan model bisnis, jadi hal yang dibutuhkan banget nih.
Contoh Model Bisnis, bukan Model Iklan…
Contoh model bisnis yang cukup “hits” adalah model bisnisnya e-commerce startup, yaitu model bisnis Consumer to Consumer (C2C) dan Business to Consumer (B2C). Di model C2C, transaksi barang dan jasa dilakukan dari marketplace ke konsumen, terus dijual lagi ke konsumen yang lain dan didukung sama teknologi elektronik. Gampangnya, kalo kamu mau beli barang yang kamu pengen, kamu langsung kontak sama yang jual melalui platform yang tersedia. Kalo B2C, sistemnya hampir sama, tapi dia cenderung emang punya bisnis yang berdiri sendiri, dan langsung nawarin produknya ke konsumen, kayak Zalora aja, mereka gak ada merchant, jadi langsung pihak Zalora yang ngelola bisnisnya ke konsumen. Kebayang kan cuy…..
Masih banyak sih sebenarnya contoh model bisnis yang lain, mau dijelasin di artikel ini, ah ntar dikira bikin kuliah 2 SKS lagi hahahaha. Singkatnya, ada yang namanya model bisnis on demand atau sesuai permintaan pasar gimana. Startup yang pake model bisnis on demand, bener-bener memantau maunya pasar tuh apa sih. Enaknya tuh kalo jasa yang ditawarin lagi match banget sama permintaan pasar, startup bakal jadi top-list. Kebalikannya, kalo udah gak match lagi, bisa jadi karena kurang inovasi, ya udaah bisa jadi top-lost. Ih serem!
Siapa sini yang lagi menikmati physical distancing dengan nonton series Money Heist, atau dengerin playlist andalan sadboi dan sadgirl (saya auto tunjuk tangan hahaha). Pastinya, buat bisa akses ke layanannya, kan kita mesti berlangganan toh. Model bisnis kayak gitu namanya, model bisnis subscription, artinya ada price yang harus dibayar sama konsumen kalo mau menikmati produk yang ditawarkan.
Apa kata para experts?
Menurut Nicole Yap, Managing Director Digitaraya, di Indonesia sendiri, model bisnis yang sering dipake sama startup adalah Business to Customer (B2C), mengingat basis konsumen yang besar dan tingkat pendapatan masyarakat yang juga makin meningkat.
Dia juga nambahin kalo sebenarnya sih ya, bukan masalah model bisnis apa yang dipake, tapi seberapa adaptif sebuah startup di segala situasi, mau mengubah rencana atau strategi juga silakan. Buat bisa beradaptasi istilahnya, startup butuh memprioritaskan apa aja yang penting dan mengefektifkan proses pengembangan produk.
Terus ya, keuangan juga penting buat diperhatiin, udah aman atau belum ya, mana kira-kira biaya yang sekiranya bisa dirampingkan, paling gak nih, startup bisa jalan bisnisnya selama 6 bulan kedepan.
Anyway, Nicole juga ngasih “bocoran”, apa yang dipertimbangkan sama Digitaraya sebagai startup accelerator untuk melakukan seleksi pada startup yang ikut berkompetisi, yaitu punya target dan asumsi yang jelas, punya potensi yang baik untuk profit kedepannya dan target yang dituju, bisa dari permasalahan besar yang coba diselesaikan dan juga model bisnis yang menarik dan bisa bertahan jangka panjang.
Digitaraya gak main-main buat ngasih mentoring ke startup bimbingannya, McKinsey & Company, Google, UBS pun dihadirkan buat ngasih arahan tentang model bisnis. Perusahaan tersebut juga mendorong startup buat bisa menyelesaikan masalah bisnisnya dengan efisien serta efektif.
Digitaraya juga selalu mendukung alumni startup mereka untuk bisa terus berkembang, misalkan dengan mengadakan sesi diskusi dengan para founders, ngasih tips gimana sih menghadapi krisis Covid-19 ini dengan bijak, langsung dari para ahli nya, gak ketinggalan juga online sessions yang topiknya related banget sama dunia startup.
Baru-baru ini sih, Digitaraya ngadain tiga online session, pertama bareng Kinesys Group & Go-Ventures, terus yang kedua bareng Facebook, Validate, dan Zenius, dan yang ketiga bareng Umma dan Kitabisa.
Apakah model bisnis mempengaruhi startup buat survived?
Jangan keliru ya tapi, model bisnis gak jadi the one and only “pegangan” istilahnya buat bisnis jadi bertahan dengan baik, tapi balik lagi ke gimana industrinya juga. Riaz Hyder, Executive Director UBS, berpendapat kalo banyak aspek ekonomi yang terkena dampak negatif akibat krisis Covid-19, apalagi pariwisata dan perhotelan, tau sendiri kan akibat physical distancing banyak perjalanan internasional yang harus dibatasi.
Terus, seperti yang bisa diperkirakan, startup yang fokus ke distribusi bahan pokok, e-commerce, dan layanan telekomunikasi gak terpengaruh banyak akibat krisis ini. Tapi tetep mesti kerja keras supaya bisa survived juga diantara gempuran kompetitor. Nah, keliatan kan sampe sini, kalo model bisnis yang bagus aja ngga cukup untuk mastiin startup bisa bertahan. Tapi karena emang situasi lagi krisis, dan pertanyaannya, apakah startup udah nyiapin strategi yang tepat atau enggak, harus adaptif gitu intinya.
Misalkan dengan bikin prioritas, prioritas nomor satu yang wajib bagi para startup pikirin tuh adalah mempertahankan cash, karena pertumbuhan ekonomi yang melambat, meningkatnya pengangguran dan pengurangan pengeluaran. Prioritas kedua adalah memposisikan startup untuk tetap “ada” pada tahun 2021. Kalo startup bisa “bertahan”, berarti kita boleh angkat topi dengan startup tersebut. Prioritas ketiga adalah tetap gesit dalam menyusun strategi dan aksi di tengah ekonomi dan industri yang bisa berubah sangat cepat.
Intinya, semua harus jalan, gak bisa ngandelin ke model bisnis, tapi startup kudu adaptif sama nyusun strategi yang tepat biar ga collapse, apalagi di tengah pandemi kayak sekarang. Jiayo!
Artikel ini merupakan artikel kolaborasi bareng Ziliun bersama Digitaraya.
Ditulis oleh: Ade Irma Sakina
Disunting oleh: Azwar Azhar