“Fake your stack until you can’t handle it.”
Kalimat yang diucapkan oleh Yohan Totting, Google Developer Expert, di atas itu masih terngiang di telinga gue sampai sekarang. Gue mendengar kalimat tersebut dari presentasinya di acara Google Launchpad Jakarta, sebuah acara bootcamp yang diadakan oleh Google untuk membantu startup baru dalam menyempurnakan produk mereka hingga mampu bersaing di pasar. Acara ini diselenggarakan selama lima hari dengan materi yang berbeda setiap harinya, yaitu tentang Produk, UI/UX, Teknologi, Marketing, dan hari terakhir adalah hari untuk Pitching. Setiap harinya, para startup akan dihadapkan dengan para mentor yang berbeda untuk melakukan one on one mentoring session.
Gue mengikuti acara ini bukan sebagai peserta, tetapi sebagai bagian dari penyelenggara, ya tapi tetep bisa nyuri-nyuri ilmu dikitlah ya. Kalau ada yang lagi mentoring, ya gue ikut duduk aja buat ikutan belajar sama mereka. Di sini gue ga akan sharing secara mendetail dari hari ke hari apa aja yang gue dapet karena akan sangat panjang banget untuk diceritakan. Tetapi gue akan sharing satu hal yang paling membuka mata gue tentang startup dan juga produknya.
Baca juga: Developer, Saatnya Berkontribusi Ciptakan Aplikasi Berdampak
Gue berasal dari background Teknologi Informasi di mana teknologi udah jadi makanan sehari-hari buat gue. Dan gue juga sudah tertarik untuk membangun startup dari 1,5 tahun yang lalu, tetapi baru mulai jalan beberapa bulan terakhir setelah akhirnya lulus dari kuliah (ciee…). Ketika memutuskan untuk membangun startup, hal yang gue pikirkan pertama kali adalah bagaimana gue bisa membangun teknologi yang keren banget untuk menyelesaikan suatu masalah. Okay, untuk bagian solve the problem ini memang udah gue tanamkan sejak dini, tapi untuk bagian teknologinya gimana?
Nah kita balik lagi ke fake your stack until you can’t handle it. Maksud dari kalimat ini adalah kalau kita udah punya solusi untuk semua masalah, sebisa mungkin kita lakuin secara manual terlebih dahulu dan kalau bisa ya coding seminimal mungkin. Ini sangat menarik bagi gue yang seorang lulusan IT ini harus mengembangkan produknya sebisa mungkin tanpa teknologi dulu. Mungkin ini rasanya kalo kita jago masak tapi ga boleh masak yang ribet-ribet dulu.
Baca juga: Jangan Cuma Solve Problem, Tapi Solve Real Problem!
Tapi Yohan punya alasan untuk menyampaikan kalimat itu, dan semua mentor pun mengatakan hal yang sama. Karena ketika lo membangun startup, lo harus pastiin bahwa value yang lo bawa ini memang bener-bener berharga buat user. User itu ga peduli sama platform apa yg lo pake, framework apa yg lo pake, dan seberapa ribet cara coding produk lo. Buat apa lo coding berbulan-bulan kalo ternyata user tuh ga butuh sama produk yang lo bikin? Coba lo bayangin perasaan developer-nya. Dan memang inilah yang dilakukan oleh startup besar seperti GoJek ketika mereka ingin bikin produk baru bernama GoFood. User hanya diminta untuk mengisi form pemesanan makanan dan sisanya dikerjakan secara manual oleh tim GoFood. Mau tau teknologi apa yang dipake? Ya cuma form online.
Ini bener-bener mengubah pola pikir gue. Apa tujuan lo bikin startup? Buat bener-bener menyelesaikan masalah? Atau buat bikin teknologi yang keren doang?
Beberapa mentor yang gue temui menyebutkan bahwa startup yang paling canggih di Indonesia saat ini adalah Traveloka, karena semua sistem yang mereka lakukan sudah dilakukan oleh AI. Tapi apakah Traveloka sudah menggunakan AI dari awal berdirinya Traveloka?
Startup itu enggak akan lepas dari yang namanya teknologi, tapi kita harus tahu kapan saat yang tepat untuk menggunakan teknologi yang tepat.
Baca juga: Developer, Ayo Mulai Berpikir Perbaiki Kota dengan Teknologi!
Header image credit: thrillist.com
Comments 1