“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” – Ir. Soekarno
Mungkin kita sedang memasuki fase di mana kita melawan bangsa kita sendiri, seperti yang dikatakan Ir. Soekarno. Di mana hal kecil aja bisa diperdebatkan. Contoh paling sederhana adalah selera musik. Ada yang bilang musik adalah bahasa universal yang menyatukan dunia, tapi nyatanya hanya karena selera musik berbeda, yang kawan bisa menjadi lawan. Judgement dimana-mana.
“Ih, lo cowok kok suka Kpop? Banci lo!”
“Lagu barat mulu yang lo dengerin, nasionalisme lo dimana? Bajunya kebuka, nggak sesuai dengan budaya kita!”
“Lu dengerin lagu dangdut? Alay banget sih lo! Gaul dikit dong!”
Baca juga: eFishery, Startup “Ikan” yang Gak Sekadar Keren-Kerenan
Sering denger hal yang kayak gitu? Hal yang serupa dengan hal itu adalah pilpres tahun lalu, dimana banyak yang merasa calon presiden pilihannya yang paling benar, paling bersih dan lain sebagainya. Sisa-sisa konflik pilpres itu pun masih terasa sampai saat ini dengan embel-embel “tuh kelakuan presiden pilihan lo”.
Ke mana keberagaman yang dulu dibanggakan? Apakah “Bhinneka Tunggal Ika” sekarang cuma jadi frasa pajangan saja? Bangsa kita sekarang serba harus memberi garis hitam dan putih terhadap sesuatu, benar dan salah. Kasarnya, kalo kamu ikut kita, kamu benar dan kamu aman. Ada beberapa faktor yang mungkin membuat kita seperti ini, adanya oknum provokator yang sengaja memecah belah demi kepentingan suatu kelompok tertentu. Nggak menutup kemungkinan media kita saja saat ini bisa “dipelintir” sesuai kebutuhan si pemilik media. Faktor lainnya mungkin adalah hilangnya musyawarah sebagai pemecahan masalah. Dulu seingat saya, di pelajaran PPKN (kewarganegaraan), saya diajarkan bahwa memecahkan sebuah masalah besar haruslah melalui musyawarah terlebih dahulu, lalu kemudian melalui sistem vote. Kenyataannya saat ini keadilan hanya ditentukan oleh “jempol”. Yup, ‘like’ terbanyak lah yang paling benar. Semua orang harus setuju. Dan yang beda pendapat harus ditindas, dan dihina. Pokoknya golongan yang punya banyak suara yang boleh bersuara.
Baca juga: Supaya Berhasil, Slow Down and Chill!
Selama kelompok saya aman, maka saya tidak peduli yang lainnya. Selama orang-orang terkenal mendukung itu, maka saya harus mengikuti itu. Mungkin itu penggambarannya. Padahal kita semua “menumpang” tinggal di tanah yang percaya bahwa perbedaan itu indah layaknya warna pelangi, layaknya note nada musik.
Cameo Project percaya bahwa semangat nasionalisme dalam setiap diri bangsa Indonesia itu masih ada. Rasa memiliki Indonesia masih ada untuk berhenti dipecah belah. Dari situlah, Cameo Project membuat sebuah video yang menunjukkan bahwa, saya, kamu, “KAMI INDONESIA”
Image header credit: KAMI INDONESIA