“Kata temen gue, karya adalah pertaruhan harga diri pribadi. Bukan harga diri bangsa. Beda jauh. Jadi penggunaan “karya anak bangsa” kayak menyeret satu negara atas karya yang harusnya tanggung jawab pribadi :). Kalau karya seseorang bagus, pasti orang akan cari tau asalnya dari mana. Otomatis harumkan tempat asalnya. So, nggak perlulah gunakan ‘karya anak bangsa’. Mari bertanggung jawab atas karya kita sendiri.”
Itu adalah rangkuman dari empat tweet Joko Anwar beberapa waktu lalu. Di antara para pekerja kreatif, lagi ada isu hangat di media sosial, yang mendiskusikan tentang karya-karya kreatif yang dijual dengan label “karya anak bangsa”.
Coba kita telusuri, kenapa awalnya sebuah karya perlu menonjolkan label “karya anak bangsa”-nya?
Mungkin (ya mungkin yaa) karena industri kreatif Indonesia baru mulai bangkit lagi dan sudah jauh ketinggalan dibanding negara lain, jadi “karya anak bangsa” diperlukan untuk menyebarkan kembali optimisme karya dalam negeri.
Terus, kemungkinan kedua, adalah label ini diperlukan untuk “memaksa” orang memilih karya kita dibandingkan karya negara lain yang kebetulan lebih berkualitas.
Baca juga: Suryaraka: Saat Pasukan Elite Kerajaan Majapahit Membela Kedaulatan Bangsa
Kenapa akhirnya diskusi panas itu terjadi di media sosial? Ya alasannya karena beberapa kreator menganggap peningkatan kualitas karya jauh lebih penting untuk dilakukan, daripada heboh dengan label “karya anak bangsa”.
Ya, label itu mungkin bisa menarik saya, dan kalian, untuk mengonsumsi karya tersebut, dengan alasan-alasan seperti, “Sekali-kali ah nasionalis dengan mendukung karya anak bangsa”.
Tapi, kalau disuguhi dengan kualitas yang biasa-biasa saja, apa alasan-alasan di atas masih berlaku kali berikutnya? Yang ada malahan, pertama kita memilih karya tersebut untuk mencoba mendukung industri kreatif bangsa, tapi kemudian malah dikecewakan dan jadi antipati sendiri. It happens because we started with the wrong reason.
Baca juga: Supaya Industri Maju, Kreator dan Publisher Cuma Harus Ketemu!
Yang lebih bahaya dari mengecewakan, adalah saat karya tersebut “dimaklumi”, bukan “dihargai”.
“Indonesia udah bisa bikin begini lumayanlah, harus kita apresiasi karya anak bangsa ini.”
Itu kan namanya dimaklumi, apresiasi yang dipaksakan. Itu bukan penghargaan, tapi pembenaran. Kalau penikmat karya terus memaklumi kualitas yang belum mumpuni hanya gara-gara karya tersebut adalah karya anak bangsa, pekerja kreatif kita gak akan naikin standarnya dong sampai kapanpun?
Jadi kalau saya pribadi sih setuju-setuju saja dengan Joko Anwar. Memang, kita harus mendukung karya lokal. Memang, kita harus punya pride terhadap karya dalam negeri, biar pekerja kreatif kita gak kabur ke luar. Tapi, daripada terlalu heboh menjual-jual label “karya anak bangsa” lalu kemudian malah mencoreng nama bangsanya, mending perbaiki kualitas karya kita dulu kali. Suatu karya yang bagus dengan sendirinya mendatangkan banyak penikmat tanpa embel-embel “dukung karya anak bangsa” untuk dagang.
Baca juga: Rombak Pola Pikir
Header image credit: growcobusiness.com
Comments 1