Apakah dengan membayar sekian ratus ribu rupiah lalu kita boleh saja seenaknya meninggalkan tulang ikan di meja? Apakah dengan membeli minum di 7-Eleven lalu kita bisa seenaknya meninggalkan botol bekasnya? Apakah dengan memesan ayam goreng di konbini lalu kita bisa mengambil saus sambal seenak hati sampai harus ditulisi “ambil secukupnya saja”?
Warga Jakarta, tahukah Anda bahwa Transjakarta memiliki armada gratis yang beroperasi di sepanjang Sudirman-Thamrin?
Begitulah. Hampir setiap pagi saya berangkat ke kantor dengan menggunakan armada gratis ini. Benar-benar gratis, tinggal naik dan turun, tanpa menggunakan kartu apa-apa (tapi jangan lupa mengucapkan terima kasih ke supir dan kondekturnya ya). Lewat setiap setengah jam, Transjakarta versi gratis ini memang hanya melayani trayek Sudirman-Thamrin, sebagai bagian solusi dari pelarangan sepeda motor di kawasan Thamrin. Armada ini beroperasi di jalur lambat, berhenti di halte pemberhentian bus, sehingga rentan pula jika jalanan sedang padat merayap. Normal saja, bagi saya.
Nah, karena berhentinya hanya di halte dan bukan sembarang ruas jalan seperti Kopaja atau metromini, maka mereka yang hendak naik dan turun ya dipaksa untuk menunggu di halte. Itu artinya harus ada usaha jalan kaki, terutama mereka yang kantornya tidak berada dekat dengan halte. Tapi ya itu, banyak yang menunggu armada ini, meski harus jalan kaki agak jauh.
Baca juga: I have a (shopping) dream…
Fenomena ini menarik untuk dicermati, bagi saya. Satu, membudayakan tertib menunggu dan turun di halte pemberhentian bus itu MUNGKIN. Aturan armada gratis Transjakarta ini buktinya. Di awal-awal beroperasi saya masih melihat banyak calon penumpang yang mencoba menghentikan bus tidak pada tempatnya, ada juga penumpang yang maunya turun seenaknya. Ya jelas tidak bisa. Lama kelamaan jumlah orang yang seperti itu berkurang, mulai sadar diri. Nah, jika ini mungkin, apa faktor pendukungnya? Usut punya usut, ternyata ada faktor GRATIS itu tadi.
Saya Bayar, Ya Sesuka Saya Dong!
Beberapa kali berbincang dengan pengguna armada gratis ini, mereka mengatakan bahwa mereka mau-mau saja jalan kaki agak jauh karena naik busnya gratis. Sederhananya, rela deh berkorban dikit karena nggak harus bayar bus. Ketika dilanjut dengan pertanyaan, “Jadi kalau naik Kopaja, nggak mau berhenti di halte, Mbak/Mas?” jawabannya sudah jelas, “Ya iyalah, karena bayar, ya harus turun di tempat yang saya mau.” Dengan model penumpang yang seperti ini, wajarlah bila angkutan umum menuruti demand, tak mau berhenti hanya di halte.
Beda kelakukan antar gratis vs berbayar ini mau tidak mau mengingatkan saya pada hal lain. Hampir setiap kali pergi ke konbini alias convenience store turunan Jepang seperti 7-Eleven atau Family Mart, saya selalu menemui sampah bertebaran di meja, kursi, lantai. Meskipun ada tulisan semacam “Sampah Harap Dibereskan Sendiri”, tetap saja area makan di konbini terlihat berantakan dan kotor. Saya pernah menegur segerombolan remaja tanggung yang santai banget membuang sampah bekas makanannya di lantai dan meninggalkan tumpukan kotak makan serta gelas plastik di meja. Jawabannya apa coba? “Kita bayar kan buat bayar masnya juga, biarin aja mereka yang beresin!”
Hmmm.
Baca juga: Di Mana Ada Usaha, Di Situ Ada Jalan?
Hal yang sama sering saya jumpai di restoran cepat saji. Banyak sekali yang meninggalkan bekas makanan mereka di meja, tulang ayam berserakan, saus sambal berceceran dan tersisa banyak, hingga basah bercak minuman dingin yang membuat meja menjadi licin. Entah bagaimana orang lain melihatnya, namun melihat kondisi meja seperti itu (sebelum dibereskan dan dilap klimis oleh pramusaji) membuat selera makan saya sering menurun. Karena pemikiran sesederhana itu, saya selalu berusaha untuk menyatukan sisa makanan di satu piring (supaya mudah dibuang), mengumpulkan tissue atau sampah plastik di piring yang lain, menumpuk piring yang kotor jadi satu, lalu meletakkan semuanya di baki yang tersedia, sehingga mudah bagi pramusaji untuk membereskannya. Dan supaya yang nanti menggunakan meja itu nggak jadi ilfeel seperti saya bila melihat meja kotor dan berantakan. Dulu di Taipei malah ada kewajiban tidak tertulis bagi pembeli untuk membereskan semuanya, termasuk meletakkan baki dan piring kotor di tempat yang disediakan dan membuang sampah sisa makanan sesuai kategorinya. Hanya “merapikan” bekas makan itu saja selalu ada yang berkomentar, “Citra, ngapain sih dirapiin? Kan bukan tugasmu…”.
Oh well…
Contoh lain lagi adalah belanja di supermarket. Plastik belanjaan memang bisa jadi bagian dari layanan supermarket untuk pelanggan, namun saya juga banyak menemukan pelanggan yang meminta sekian banyak plastik untuk belanjaan yang (ini subjektif sih ya) menurut saya, bisa disatukan dalam satu plastik. Sementara saya berbahagia dengan membawa tas kain sendiri, ibu-ibu di depan saya meminta satu plastik khusus untuk kosmetiknya, satu untuk sabunnya, satu untuk ini itu saya sampai bengong. Plastik itu material yang sulit terurai, alasan terbesar mengapa ada banyak kampanye mengurangi plastik atau go green. Ketika saya bertanya sopan pada kasirnya, apakah tidak ada maksimal plastik yang diberikan pada pelanggan atau barangkali anjuran untuk tak menggunakan banyak, jawaban si kasir begitu mudah ditebak, “Ya kan mereka pelanggan, Mbak, terserah mau gimana”.
Baca juga: Nrimo Pangkal Dijajah
Ada garis tipis antara “berhak mendapatkan sesuai yang kita bayar” dan “bisa meminta sesuka kita karena kita bayar”. Misalnya, kita berhak mendapatkan pelayanan yang ramah dari pramusaji restoran, ditawari alternatif menu yang sesuai, dan pesanan yang diantarkan dalam waktu yang cepat. Itu norma umum yang bisa kita terima mengenai hak kita sebagai pembeli. Hanya saja, cara makan, cara meninggalkan piring bekas makan, cara membuang sampahnya, they are a reflection of us as a person. Apakah dengan membayar sekian ratus ribu rupiah lalu kita boleh saja seenaknya meninggalkan tulang ikan di meja? Apakah dengan membeli minum di 7-Eleven lalu kita bisa seenaknya meninggalkan botol bekasnya? Apakah dengan memesan ayam goreng di konbini lalu kita bisa mengambil saus sambal seenak hati sampai harus ditulisi “ambil secukupnya saja”?
Yah, barangkali mental kita memang mental tuan besar yang maunya sesukanya.
Atau jangan-jangan perilaku kita sudah terlalu dalam dipengaruhi insentif sehingga sulit sekali mengubahnya tanpa ada iming-iming benefit?
Baca juga: Orang yang Tersesat, Belum Tentu Tersesat
Artikel ini ditulis oleh Marlistya Citraningrum, dan sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana.
Image header credit: gratisography.com
Comments 1