Anak-anak udah banyak yang merokok dan orangtuanya, orang dewasa mendiamkan. Saya tak rela kesehatan mereka dikorbankan. Saya tak rela masa depan mereka berantakan. Saya tak rela diam.
Suatu malam, di Jakarta.
Setelah seharian yang menguras tenaga dan kondisi badan yang sedang kurang fit, saya memutuskan untuk pulang menggunakan taksi. Lima menit menunggu, taksi segera berangkat menelusuri jalan, menuju ruas jalan protokol: Jalan Sudirman. Menjelang Bundaran Senayan sudah terlihat padatnya arus kendaraan mengarah Bundaran HI. Dua menit berganti menjadi lima menit, lalu berganti menjadi sepuluh menit, lalu menjadi dua puluh lima menit. Saya masih belum bergerak dari barisan kendaraan di depan Gelora Bung Karno. Saya mengalihkan pandang dari jalanan dan menekuni telepon genggam saya, pasrah dengan kondisi jalan yang rapat.
Beberapa menit kemudian saya merasakan taksi bergerak cepat. Tersentak dan gembira menduga bahwa kemacetan mulai terurai, saya melihat ke depan dan ternyata taksi yang saya naiki menggunakan jalur Transjakarta. Melanggar tata tertib lalu lintas? Jelas. Lucunya, saya hanya diam. Sebagian karena terlalu lelah untuk mengingatkan sopirnya, sebagian karena di depan dan di belakang ada mobil yang melakukan pelanggaran yang sama, sebagian karena keegoisan saya untuk segera sampai di rumah.
Begitulah, saya tahu sopir taksi yang saya naiki melakukan kesalahan, kesalahan yang banyak dibenarkan karena jalanan Jakarta yang begitu kejam, dan saya diam.
Baca juga: Mental Tuan Besar
Diam dan Mendiamkan
Di gang menuju kosan saya (dan sebaliknya, menuju jalan protokol jika saya berangkat kerja), ada banyak pedagang kaki lima dengan gerobak dagangan mereka. Aneka gorengan, jus buah, bubur ayam, nasi uduk, mie ayam, soto, ayam goreng, bisa dibilang semua ada. Ada satu tukang bubur favorit saya untuk sarapan di sana, abang-abang yang hafal bahwa saya beli bubur lengkap dengan sambal 2 sendok dan kerupuk dipisah. Abang-abang yang suka pusing sendiri lupa pesanan pembeli yang nggak minta kacang, seledri, atau bawang goreng. Gang sempit itu memang tempat para pekerja di sekitar sana sarapan dan makan siang.
Setelah beberapa lama menjadi langganan si abang tukang bubur, saya mengetahui bahwa tempat itu sebenarnya tidak diperbolehkan untuk berjualan. Iya, saya kebetulan bertemu dengan beberapa satpol PP yang ada di sana dan seperti keajaiban, 2-3 hari itu semua gerobak lenyap. Lenyap untuk muncul kembali setelah seminggu. Lucunya, ketika semua penjual muncul, saya masih tetap membeli bubur si abang. Saya tidak mengatakan apa-apa tentang ilegalnya mereka berjualan di sana.
Iya, saya tahu dan saya diam, bahkan mendiamkan.
Salahkah saya? Apakah saya seseorang yang buruk? Jahat?
Dua cerita itu hanya dua dari sekian banyak hal yang saya lakukan, yang mungkin juga Anda lakukan. Hal-hal salah, sekecil apapun, yang kita diamkan. Entah karena terlalu malas, entah karena tak berkaitan dengan kita, entah karena kita justru diuntungkan dengan itu. One way or another, lucu rasanya bagi saya, berkeinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan membangun Indonesia menjadi lebih baik namun mengabaikan semua itu. Kesalahan menjadi biasa karena kita membiasakan. Dan ketika saatnya berubah, sungguh, berat rasanya.
Jadi, apakah kita bermental diam?
Baca juga: Menjadi Buruh Ber-mental CEO
Tak Diam dan Tak Mendiamkan
Lalu saya mengingat apakah saya pernah melakukan sesuatu yang benar.
Sebagai pejalan kaki yang antusias, saya menikmati jalan kaki 2,2 kilometer yang saya tempuh tiap harinya. Trotoar yang tak telalu lebar tak menyurutkan niat saya. Sayangnya memang pedestrians have the rights of way itu masih sekadar slogan. Banyak sekali pemotor (yang kebanyakan tukang ojek!) seenaknya naik ke trotoar, terutama di jalan dengan rute putar balik yang jauh. Saya, dengan hak sah berjalan di trotoar, tak pernah sekalipun mau mengalah ketika ada sepeda motor di belakang atau depan saya, tidak peduli mereka mengeraskan suara motornya atau membunyikan klakson.
Saya tetap berjalan dengan regal, kalau perlu di tengah, sampai mereka kesal sendiri. Sebenarnya tak sekali dua kali pula saya mengingatkan, dan berakhir dengan sedikit adu argumen. But let’s admit it, saya berada di pihak yang benar.
Hal ini saya tahu juga dilakukan oleh teman-teman saya. Satu fakta yang menyenangkan, karena tenyata kita tidak diam. Berusaha pula tak mendiamkan dengan menganjurkan hal yang benar.
Ini cerita penutup saya.
Di sebuah akhir minggu, saya mampir ke rumah seorang teman di Bandung. Ketika saya pulang, ada sekelompok anak kecil di ujung gang, salah satunya merokok.
“Kamu umur berapa?” saya bertanya.
“Sebelas”
“Umur sebelas udah ngerokok?”
“Iya,” jawabnya dengan nada tak bersalah.
Baca juga: Mental Pengadu
Teman-temannya juga bersikap biasa saja, begitu juga 2-3 orang bapak-bapak (yang juga merokok! duh!) yang berdiri tak jauh dari mereka.
Saya ambil rokok dari mulut si anak dan mematikannya.
“Nggak ngerokok lagi ya,” saya berujar.
Si anak cuma mengangguk.
Itu satu contoh kecil saja yang menunjukkan bahwa rokok itu udah jadi masalah genting di Indonesia. Anak-anak udah banyak yang merokok dan orangtuanya, orang dewasa mendiamkan. Saya tak rela kesehatan mereka dikorbankan. Saya tak rela masa depan mereka berantakan. Saya tak rela diam.
Jadi, apakah kita bermental diam? Apakah kita akan diam dan mendiamkan?
Artikel ini ditulis oleh Marlistya Citraningrum dan sebelumnya dimuat di Kompasiana
Image header credit: thefools.org