sensor1/sen·sor/ /sénsor/ n 1 pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya); 2 yang menyensor;
Belum berapa lama sosial media dan media mainstream lainnya ramai-ramai ngomongin soal sensor. Salah satu pemicunya, antara lain karena setiap ada belahan dada sedikit muncul di televisi, langsung ditutupi dengan gambar yang agak kabur. Adapula akun di Facebook yang dibekukan karena berbagi foto-foto perempuan Indonesia zaman dulu yang telanjang dada. Oleh orang-orang yang menganggap foto tersebut tidak senonoh, akun tersebut kemudian dilaporkan.
Sebetulnya Indonesia sudah lama senang sensor menyensor. Terutama pemerintah, memang sudah lama menyukai dan melakukan tindakan sensor menyensor terhadap banyak hal.
Salah satu contoh misalnya Majalah Tempo yang pada pertengahan tahun 1990-an dicabut izin terbitnya karena menulis hal-hal yang isinya mengkritik pemerintah. Atau misalnya Pramoedya Ananta Toer, yang pernah dipenjara karena menulis sebuah buku yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Lagi-lagi isinya tentang mengkritik kebijakan pemerintah pada saat itu. Semua karyanya diambil, dihancurkan dengan harapan ide dan pemikiran beliau tidak tersebar ke lebih banyak orang.
Baca juga: Kenapa Kita Belajar Sejarah?
Lembaga Sensor Film Indonesia pun dibentuk di mana anggotanya terdiri dari perwakilan berbagai elemen masyarakat seperti pelaku industri film, pemuka agama, perwakilan pendidikan dan kebudayaan, tetapi yang paling penting harus ada orang militer. Kenapa demikian? Nah ini yang pelik. Salah satu alasannya tentu saja karena pemerintah (melalui militer) perlu tahu apa-apa saja yang dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, alasan sebenarnya juga supaya masyarakat tidak mudah disusupi ide-ide untuk melawan rezim penguasa. Tujuannya? Ya untuk melanggengkan kekuasaan. Saya bisa ngomong gitu karena alasan ini bahkan dicantumkan di website Lembaga Sensor Film itu sendiri.
Saya sendiri tidak pernah percaya sensor. Menurut saya, sensor itu membodohi. Kenapa membodohi? Contoh paling gampangnya deh. Korea Utara. Di sana semua rakyat ‘dipaksa’ dan ‘terpaksa’ patuh pada pemerintah, karena mereka ngga pernah tahu dunia luar seperti apa. Mereka tidak pernah berpikir untuk diri sendiri, karena apa yang mereka pikir sudah dipilah oleh negara. Mereka tidak memberontak, sesederhana karena mereka pikir ini yang terbaik untuk mereka. Mungkin bahkan mereka tidak tahu kalau hidup mereka tersiksa, karena seumur hidup wajib bersyukur masih bisa hidup.
Baca juga: Mental Peminta
Makanya saya ngga pernah ngerti kenapa orang seneng ngeblok informasi. Tindakan pemblokiran ini ngga masuk akal karena mau bagaimanapun juga, orang yang butuh akan cari cara apapun untuk mendapatkan apapun yang mereka mau. Don’t underestimate people with determination.
Lalu, gimana caranya untuk meminimalkan dampak buruk dari segala hal yang menurut orang-orang patut disensor itu? Ngga ada cara lain kecuali edukasi. Orang perlu dikasih pemahaman seluas-luasnya melalui berbagai sumber dan referensi. Orang perlu dikasih tahu cara mengambil pengetahuan yang baik, berpikir dengan logika, sehingga mereka bisa memilah sendiri, mana yang baik mana yang tidak.
Lagian, mau disensor seperti apapun, kalau pola pikirnya masih menyalahkan bioskop karena anaknya nangis pas diajak nonton film yang ada adegan kekerasannya, ya gak bakalan ngaruh. Hello, itu rating dicantumkan gunanya untuk dibaca dan dipahami. Jadi gak masuk akal kalau ada orangtua masih ngajak anak kecil nonton film dengan rating R (restricted), kecuali memang orangtuanya tolol dan ignorant.
Terus, mau disensor kayak gimanapun, kalau ngga pernah diajari untuk berlaku sopan kepada orang lain, cuma lihat perempuan pakai rok mini sedikit juga udah napsu dan langsung suit suit kurang ajar. Yang bener itu mulutnya yang dikontrol, bukan pahanya yang ditutup.
Emangnya mau terus-menerus jadi orang tolol dan biadab?
Baca juga: Satu Cara Untuk Jadi Teman Semua Orang
Image header credit: picjumbo.com
Comments 1