Andreas Senjaya, CEO Badr Interactive, beberapa waktu lalu berangkat ke San Fransisco untuk mengikuti program inkubasi dan akselerasi 500accelerator yang diselenggarakan oleh 500startups. iGrow, salah satu startup dari Badr Interactive termasuk dalam 52 startup terpilih dari seluruh dunia untuk mengikuti program tersebut selama 4 hingga 5 bulan ke depan.
Perjalanan Andreas Senjaya di San Fransisco tentunya punya banyak ilmu dan pengalaman yang bisa dipelajari. Oleh karena itu, Ziliun akan berbagi tulisan dari Mas Jay selama ia mengikuti program 500accelerator ini. Untuk apa? Berbagi ilmu dan pengalaman, supaya kamu juga bisa ikut belajar apa yang Mas Jay dapatkan di program ini.
Growth bagi sebuah startup memang sebuah terminologi yang tidak bisa dilepaskan. Ia adalah harga mati bagi sebuah startup, karena memang karena growth-lah salah satu alasan sebuah bisnis disebut startup (Paul Graham). Namun memang ada beberapa perbedaan bagi beberapa startup dalam memilih matriks pengukuran yang mereka gunakan untuk mengukur growth mereka. Ada yang menggunakan parameter kesehatan finansial seperti revenue atau profit, namun ada juga yang menggunakan parameter yang tidak langsung berkaitan terhadap finansial dalam waktu dekat seperti peningkatan pengguna, transaksi, atau kunjungan.
Hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang patut jadi pertentangan satu sama lainnya apalagi menjadi peng-kubuan aliran startup beraliran growth menggunakan matriks non finansial atau yang beraliran growth menggunakan matriks finansial. Masing-masing startup berbeda, dengan tantangan, potensi, anggota tim, dan perencanaan yang berbeda-beda pula. Hal yang jauh lebih penting sebenarnya adalah apakah pilihan matriks untuk mengukur growth dari startup kita tersebut sudah tepat atau merepresentasikan kinerja secara substansial seiring berjalannya waktu atau tidak.
Pada tulisan kali ini saya tertarik untuk membahas topik growth dari sudut pandang pengembangan produk untuk sebuah startup, terlebih untuk startup yang tengah berjuang dalam memverifikasi produk dan model bisnisnya. Seperti kita ketahui bersama bahwa mendirikan startup terutama di fase-fase awal adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Kita berhadapan pada banyak tantangan seperti tidak ada orang yang tahu tentang produk/brand kita, terbatasnya resource (terutama cash flow) yang kita miliki, sementara itu kita sedang melakukan development produk kita yang terus memakan biaya dari waktu ke waktu.
Baca juga: Memulai Strategi Email Marketing untuk Startup
Sering kali sebagai sebuah startup kita mudah untuk membuat asumsi dalam melakukan pengembangan produk dengan tujuan menciptakan growth, contohnya ketika kita melakukan pengembangan fitur baru atau service baru maka kita berasumsi selalu akan berelevansi positif dengan growth. Namun kenyataan tidak selalu berbanding lurus dengan asumsi kita. Sangat sering sekali kita menemukan kondisi dimana matriks growth startup kita berjalan lebih lambat atau bahkan justru tidak bekerja sama sekali dari yang kita inginkan setelah kita melakukan pengembangan produk.
Hal pertama yang perlu kita ingat adalah growth bukanlah sesuatu yang dapat didatangkan hanya dengan menambah fitur atau redesign UI/UX dalam produk kita semata. Banyak produk startup yang punya fitur segudang dan keren namun akusisi, pertambahan, hingga monetisasi usernya tidak sekeren list fitur yang dimiliki. Ada banyak sekali parameter yang mempengaruh startup kita bisa memiliki growth yang baik atau tidak.
Mengharapkan growth tumbuh hanya dari asumsi pengembangan produk-produk juga sebenarnya langkah yang beresiko tinggi. Pengembangan produk, dari penambahan fitur hingga redesign web/app kita paling tidak membutuhkan biaya. Mungkin kalau di negara dengan burn rate rendah seperti Indonesia hal ini tidak menjadi masalah untuk sebuah perusahaan dengan kapital yang besar, tapi jika berada di negara dengan cost development yang tinggi seperti di US atau UK maka hal ini tentunya jadi beban yang sangat tinggi.
Selain dari aspek biaya, pengembangan produk juga membutuhkan waktu, sehingga membuat milestone atau goal jangka pendek startup kita juga harus menunggu penambahan waktu tersebut. Startup adalah tim yang butuh motivasi tinggi untuk terus bertahan, maka small goals jangka pendek sangat dibutuhkan untuk memotivasi tim untuk tetap punya keyakinan bahwa mereka berada pada track yang benar. Maka waktu jadi hal yang krusial untuk sebuah startup.
Baca juga: Sudah Benarkah Cara Kita Mengukur Kinerja Startup?
Saya tidak mengatakan bahwa untuk meningkatkan growth, maka kita sama sekali tidak bisa menggunakan cara memperbaiki atau meningkatkan kualitas produk, tidak, bukan itu hal yang ingin saya sampaikan. Yang ingin saya sampaikan adalah karena pengembangan produk adalah hal yang costly maka kita harus seksama dan melakukan validasi sebelum mengeksekusinya. Kita harus menentukan bukti minimal apa yang kita butuhkan untuk memvalidasi bahwa asumsi pengembangan produk itu berpengaruh signifikan untuk growth startup kita.
Bukti minimal tersebut sebisa mungkin tidak perlu atau kalaupun butuh hanya minimal dalam menggunakan resource technical development kita, sehingga tim development hanya mendapatkan requirement yang memang sudah terbukti akan signifikan untuk mengembangan produk.
Contoh eksperimen yang dapat kita lakukan seperti bereksperimen membuat landing page untuk mendapatkan calon customer sementara produk kita belum jadi. Atau jika ingin ada fitur baru, coba eksperimen cara kerja fitur tersebut secara manual dan langsung ke customer kita (bisa gunakan email untuk penyebaran dan melakukan validasi kepada customer kita).
Teknik validasi dalam proses pengembangan produk startup kita bisa kita pelajari lebih lengkap dalam buku Lean Startup karya Eric Ries. Jika ada kesempatan coba pelajari buku tersebut karena sangat bermanfaat untuk mengubah pola pikir kita dalam mengembangkan startup berbasiskan validasi di setiap prosesnya.
Baca juga: Traction Trumps Everything
Saya sendiripun masih mengalami kesulitan untuk mendasarkan setiap keputusan besar pengembangan produk berbasiskan validasi. Yang saya rasakan tantangan paling pertama adalah mengalahkan ego kita untuk mengakui bahwa setiap asumsi kita juga punya probabilitas yang besar. Tantangan berikutnya adalah menemukan cara untuk bisa melakukan validasi dengan waktu dan resource yang efisien. Yang buat kita malas melakukan validasi biasanya adalah butuh waktu, butuh pergi keluar kantor, atau butuh melakukan penghitungan dan analisa untuk setiap validasi yang kita lakukan.
Ketika kita sudah menemukan cara untuk memvalidasi asumsi pengembangan produk kita dalam rangka meningkatkan growth, maka kita sudah bisa menghemat waktu/cost development, kita bisa memahami customer dengan lebih baik, dan juga kita akan berhasil menciptakan small goals yang membuat iklim positif sebagai sebuah tim terbangun.
Baca juga: Ekosistem: Lesson Learned di Hari Pertama 500 Accelerator
Artikel ini ditulis oleh Andreas Senjaya, dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadi Andreas Senjaya.
Image header credit: picjumbo.com