Kota Musik adalah istilah yang sangat populer akhir-akhir ini. Beberapa bulan terakhir, saya dan tim di Musikator melakukan pendalaman riset tentang bagaimana memecahkan masalah yang ada di Indonesia di bidang musik, dan jawabannya adalah membangun ekosistem musik dari awal.
Temuan strategis selanjutnya adalah karena keragaman pasar di Indonesia, maka membangun ekosistem berbasis kota adalah strategi paling masuk akal. Kamipun mendalami strategi kota musik.
Berada pada waktu, tempat dan network yang tepat, ada ketertarikan perusahaan bernama Sound Diplomacy, sebuah perusahaan konsultasi strategi kota musik paling ternama di dunia untuk masuk ke pasar Indonesia. Dan saya, lewat partner di British Council diundang masuk ke jaringan ke ahli-ahli kota musik yang beranggotakan beberapa puluh kota di dunia. Saya juga diminta menjadi salah satu pembicara di konferensi yang membahas hubungan antara pengembangan ekosistem musik dengan perencanaan dan kebijakan kota di Music Cities Convention, minggu lalu, 18 Mei 2016, di kota Brighton-UK, untuk bercerita tentang apa yang terjadi di Bandung dan Indonesia di depan 250 orang ahli dari 70 kota dari 23 negara.
Lebih jauh, lewat studi yang mendalam 6 bulan terakhir, ditambah diskusi dengan para ahli, saya dan tim di Musikator menemukan bahwa untuk membangun sebuah kota musik, diperlukan strategi yang tepat, agar efektif dan dapat mencapai tujuan sebuah kota membangun ekosistem musik yang dapat memberi dampak ekonomi, budaya, politik dan sosial terhadap sebuah kota. Berikut sedikit penjelasan rangkuman saya tentang strategi untuk membangun kota musik di Indonesia.
Baca juga: Anak Startup, Mesti Stick to the Status Quo? (Inspired by High School Musical)
Sejarah Kota Musik
Kata “Kota Musik” itu awalnya untuk menamakan Kota Nashville di Amerika. Di sana, ekonomi musik tumbuh sehat dan berkembang. Kesuksesan ekosistem musik di kota yang dikenal dengan musik folk khas Amerika tersebut ternyata terbukti berpengaruh pada keadaan sosial, politik, budaya dan ekonomi sebuah kota. Melihat keberhasilan Nashville, istilah “Kota Musik” jadi semakin banyak dibicarakan orang. Topik ini pun mulai masuk ke konferensi-konferensi bisnis di seluruh dunia, dan makin banyak kota yang menyatakan ingin menerapkan Strategi Kota Musik.
Banyak kota di seluruh dunia yang sudah menjalankan strategi tersebut yang tersebar di 5 benua. Di Amerika tentunya ada kota seperti Nashville, Chicago, New York, dan San Fransisco. Di Amerika Latin ada Bogota di Colombia. Di Eropa berjubel; ada Brighton, Glasgow, Liverpool, Copenhagen, Amsterdam, Gothenburg, dan Berlin. Di Afrika ada Johannesburg. Di Australia ada Adelaide dan Melbourne.
Baca juga: Musisi Jalanan Kualitas Papan Atas, Berkat Institut Musik Jalanan
Pertanyaan
Dari keadaan di atas muncul beberapa pertanyaan utama, yaitu:
- Apa yang menjadikan sebuah tempat bisa disebut sebagai kota musik?
- Mengapa ada banyak kota musik yang sukses? Apa yang membuat mereka demikian?
- Apa strategi kota musik yang cocok di Indonesia?
Proses
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya bersama partner di Musikator, melakukan riset selama 6 bulan. Selain mempelajari kasus di 21 kota dari 13 negara, kami juga melakukan FGD (Forum Group Discussion) dengan komunitas-komunitas musik besar di Bandung. Selain itu kami juga melakukan FGD dengan perwakilan Karang Taruna dari 9 kelurahan dan 2 Kecamatan untuk menemukan fokus masalah lokal yang nyata. Dari situ menyimpulkan bahwa, membangun Kota Musik itu harus dengan membangun 5 pilar.
Definisi Kota Musik
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kami menyimpulkan bahwa definisi Kota Musik yang paling mendasar adalah “tempat di mana ekonomi musik dapat hidup dan berkembang“. Semakin banyak pemerintah dan pemangku kepentingan dari seluruh penjuru dunia yang melihat strategi membuat kota yang ramah musik dapat memberikan keuntungan yang signifikan. Apakah kota Anda ingin dikunjungi turis? Menjadi tempat tinggal anak muda berbakat? Membangun merk kota? Coba gunakan musik. Begitu kurang lebih.
5 Pilar
Menjawab pertanyaan kedua, kami sampai pada kesimpulan bahwa menciptakan ekosistem musik di Indonesia itu harus dibangun dengan 5 pilar. Pilar pertama adalah Musisi dan Komunitas itu sendiri; tanpa musisi, tidak ada musik. Kedua adalah Infrastruktur; termasuk di dalamnya gedung, sponsorship, teknologi dan lain sebagainya. Ketiga adalah Proses Belajar; termasuk pendidikan musik, kurikulum, perpustakaan dan lain sebagainya. Keempat adalah Pengembangan Industri; ini termasuk pengembangan bisnis, cara-cara monetisasi, distribusi dan lain sebagainya. Dan terakhir adalah Sosial dan Budaya; yaitu toleransi, attitude, sejarah, karakter dan sebagainya.
Jika Kota Musik adalah Manusia
Untuk memudahkan penjelasan 5 pilar tersebut, bayangkan jika Kota Musik itu adalah manusia. Dia harus punya indera, yaitu pilar pertama: Musisi dan Komunitas. Punya tulang, yaitu pilar kedua: Infrastruktur. Punya otak, atau pilar ke 3: Proses Pendidikan. Berpakaian dan keren, yaitu pilar ke 4: Penembangan Industri, dan manusia itu harus punya soul, yaitu pilar ke 5: nilai sosial dan budaya.
Bagaimana bentuk manusia yang ideal?
Seperti manusia, kota musik juga ada yang ideal. Seperti apa manusia yang ideal? Indera harus aktif dan produktif, punya tulang yang kuat untuk menopang berat, punya otak yang inovatif juga mau belajar, punya pakaian yang bisa diketahui kapan harus ganti yang baru, dan punya kesensitifan sosial dan toleransi.
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia lewat Arsip Musik Digital
Strategi Kota Musik
Ini yang sekarang menjadi pertanyaan ketiga. Strategi seperti apa yang harus dilakukan oleh kota-kota di Indonesia? Tentunya setiap kota itu beda, di kota-kota yang kami riset juga keadaan sangat berbeda. Tetapi ada beberapa strategi mendasar yang bisa diadopsi dan diterapkan di Indonesia.
1. Kebijakan pemerintah
Kebijakan seperti perijinan bisnis, acara musik, perencanaan transportasi dalam kota, dan penggunaan aset tanah akan sangat mempengaruhi keberlangsungan dan kesehatan ekonomi musik. Kota musik yang sukses juga bisa menciptakan lingkungan kondusif untuk musisi, jadi mereka dapat berkonsentrasi melakukan keahlian mereka, yaitu membuat dan menampilkan musik. Dukungan bisa dalam bentuk program pelatihan, mentoring, akses ke pendidikan dan perpustakaan, bahkan hingga perumahan yang terjangkau. Untuk mencapai tujuan kota musik dengan efektif, dukungan dari pemerintah di semua level sangat esensial. Karena tanpanya, kota musik tidak optimal dan hanya bisa menyentuh kalangan tertentu saja.
2. Menggalang Dukungan dari Stakeholder
Terlibatnya pihak-pihak yang berkepentingan sangat kritis untuk keberhasilan program kota musik. Kerjasama yang baik antar elemen terbukti dapat mempengaruhi kebijakan dan cara paling efektif untuk mendapat dukungan dari pemimpin politik.
3. Membentuk Pengurus Kota Musik
Akan sangat memudahkan jika ada 1 orang/organisasi yang selalu dapat dihubungi sehubungan dengan strategi kota musik. Pihak tersebut bisa sebuah organisasi pengurus. Latar belakang pengurus adalah campuran dari pengalaman di bidang musik, komunitas dan industri. Pengetahuan akan kebijakan pemerintah, birokrasi dan pengalaman bekerja di perusahaan besar juga akan sangat membantu. Selain itu, juga dibutuhkan pengurus dengan latar belakang ekonomi, pariwisata dan hubungan internasional.
4. Membangun Gedung Pusat Musik
Musik butuh rumah dalam berbagai ukuran dan format. Dari ruang untuk diskusi, belajar, berlatih dan panggung untuk tampil. Kota musik membutuhkan ruang yang memiliki kualitas tinggi. Dengan memiliki sebuah gedung pusat, kota dapat menunjukkan komitmennya membangun kota musik. Dalam gedung ini, selain untuk pusat berbagai kegiatan musisi, juga dapat digunakan sebagai kantor untuk pengurus kota musik.
5. Mengoptimalkan Karang Taruna
Karang Taruna yang aktif terbukti efektif mendekatkan masyarakat dengan musik dan seni. Potensi Karang Taruna jangan dianggap remeh. Jika efektif, pengembangan musik lewat Karang Taruna dapat menjadi kegiatan yang sangat masif yang tersebar di seluruh sudut kota. Karang Taruna juga bisa menjadi dasar untuk menggodok ciri musik lokal.
6. Menyelenggarakan Konferensi dan Festival Musik Secara Rutin
Kota kecil seperti Brighton and Hove di Inggris dapat dikenal di seluruh dunia karena memiliki The Great Escape festival and conference yag diselenggarakan setiap tahun. Cannes dengan Midem, Singapore dengan Music Matters, dan New York dengan CMJ Music Marathon. Dengan mengadakan konferensi dan seminar bertaraf internasional, sebuah lingkungan musik dapat berkembang karena bisa bertemu dan bertukar pikiran dengan sesama pelaku industri dari kota atau negara lain. Konferensi juga dapat menjadi tolak ukur pembangunan industri musik, karena hasil dari diskusi dapat dijadikan rekomendasi kepada berbagai pihak untuk mengembangkan ekosistem lebih lanjut. Selain konferensi, festival adalah data tarik pariwisata musik.
7. Pariwisata Musik
Di tahun 2015, sektor live musik di kota Bristol-Inggris memberikan kontribusi £123 juta atau hampir 2,5 trilyun rupiah pada ekonomi lokal. Ini sama nilainya dengan nilai industri Indonesia tahun 2013. Sementrara itu di tahun lalu, pariwisata musik menghasilkan £3,2 milyar atau sekitar 60 trilyun ke ekonomi di UK dan memberikan pekerjaan tetap pada setidaknya 50 ribu orang. Aset pariwisata musik kota tidak hanya lokasi live musik, tapi juga bisa termasuk gedung pusat musik, festival, tempat belanja merchandise, hingga lokasi-lokasi musik yang bersejarah.
Baca juga: Institut Musik Jalanan Akan Rilis E-commerce bagi Karya Musisi Jalanan
Artikel ini ditulis oleh Robin Malau, dan sebelumnya telah dipublikasikan di blog Robin Malau. Robin juga membuat halaman khusus yang membahas tentang Strategi Kota Musik yaitu Walikota Musik. Ikuti Walikota Musik di Facebook dan Twitter untuk mendapatkan update tentang Strategi Kota Musik ya!
Baca juga: Rangkuman Minggu ini di Kota Musik
Comments 1