Pasti kita semua sudah sering mendengar kritik bahwa “Masyarakat Indonesia sangat konsumtif, tapi tidak produktif”. Iya, ga?
Nyatanya, budaya konsumerisme ini gak cuma jadi masalah di negara kita, kok. Di negara maju seperti Amerika Serikat, konsumerisme juga jadi suatu masalah. Inilah yang mengawali terciptanya Maker Movement, sebuah tren di mana orang mulai menciptakan Do-It-Yourself produk dari barang-barang bekas, didukung dengan teknologi.
Well, sebenarnya aktivitas DIY ini udah sering dilakukan dari dulu. Namun, dengan adanya Maker Movement, semua maker ini gak hanya berkreasi di rumah atau garasi masing-masing, tapi berkolaborasi di tempat yang biasanya disebut makerspace.
Indonesia juga punya makerspace, namanya MakeDoNia Makerspace, yang didirikan pada Juli 2013. Ziliun punya kesempatan ngobrol dengan Dina Kosasih, salah satu pendiri MakeDoNia Makerspace.
Baca juga: Kunci Berinovasi: Lagi-lagi, Crowdsourcing
***
Cerita berdirinya MakeDoNia ini lumayan menarik. Awalnya, kakak Dina, Danny Kosasih, ditantang untuk membuat bisnis di sebuah space yang tidak terpakai. Mereka pun mencari-cari, bisnis apa yang kira-kira sustainable ke depannya. Dalam proses riset inilah, mereka mengenal Maker Movement yang sudah lumayan dikenal di Singapura.
Orang-orang yang terlibat di Maker Movement di Singapura ini pun kemudian membagikan ilmunya, yang menjadi bekal Dina, Danny, dan beberapa orang co-partner lain untuk membuat MakeDoNia Makerspace, sebuah hub untuk para maker dan inovator.
Awalnya, bermodal tools untuk menciptakan berbagai produk DIY dari kerajinan tangan hingga robotics, Dina mendekati berbagai komunitas maker untuk berkegiatan di MakeDoNia. Komunitas-komunitas pun datang dan berkarya dengan mengutak-atik dan memofidikasi berbagai bahan dan tools yang ada. Namun, setelah beberapa lama, Dina menemukan masalah, yaitu komunitas yang datang orangnya itu-itu saja.
Fenomena: Budaya Inovasi dan Kreativitas
Sustainable Innovation
Apa yang kurang? Apa ada yang salah dengan MakeDoNia? Jawabannya Dina temukan saat ia berkunjung ke Singapura dan Hong Kong. Ternyata, di sana ekosistem inovasi sudah matang, sehingga tempat seperti makerspace memang dicari-cari oleh orang. Di sana, komunitas para maker dan inovator juga sudah terbiasa untuk saling berkolaborasi, tidak seperti di sini di mana komunitas masih berjalan sendiri-sendiri.
Inilah yang kemudian membuat MakeDoNia Makerspace sedikit menggeser orientasinya, dari yang awalnya fokus menjadi hub, sekarang ditambah dengan edukasi dan pembangunan kapasitas, yang semua tujuannya adalah membangun ekosistem inovasi. Para founder MakeDoNia Makerspace pun menjadi advokat untuk isu sustainable innovation.
Kerangka berpikir design thinking yang awalnya dicetuskan oleh IDEO merupakan framework yang kerap digunakan oleh Dina dan MakeDoNia Makerspace dalam memberikan edukasi mengenai inovasi. Menurut Dina, kerangka design thinking ini bisa diadaptasi ke dalam bidang apa. Di pendidikan, misalnya, design thinking diadaptasi ke dalam konsep project-based learning, dan di pertanian diadaptasi ke dalam konsep permaculture. Namun, seperti apa pun aplikasinya, design thinking memiliki tiga soft skill yang menjadi output, yaitu problem solving, creative thinking, dan kolaborasi.
MakeDoNia Makerspace saat ini konsisten mengadakan design thinking workshop. Salah satu yang paling sering diadakan adalah workshop untuk para educator. Di sini, para tenaga pendidik yaitu guru diajarkan mengenai konsep project-based learning yang diharapkan bisa diimplementasikan dalam proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah.
Baca juga: Kata Para CEO Startup tentang Modal Berinovasi
Inovasi di Level Akar Rumput
Workshop untuk para guru tersebut juga merupakan salah satu usaha Dina dan MakeDoNia Makerspace dalam memperkenalkan inovasi ke level grassroot atau akar rumput. Menurut Dina, selama ini inovasi di Indonesia masih bersifat top-down. Dengan kata lain, teknologi dan inovasi hanya dimengerti dan bisa dibeli oleh orang-orang di bagian atas piramida. Sementara, masyarakat di dasar piramida seperti petani dan nelayan hampir tidak mengerti apa-apa tentang inovasi.
Inilah yang dinamakan innovation gap, yang ke depannya tidak akan berakibat baik. Menurut Dina, jika inovasi hanya tersedia untuk orang-orang tertentu, maka pasarnya sangat sempit, sementara di dalamnya banyak pemain. Para inovator pun akan saling “membunuh”, dan inovasi ujung-ujungnya tidak sustainable.
Di sini lah peran edukasi dan pembangunan kapasitas menjadi penting. “Pasarnya akan lebih smart dan inovasi akan lebih tumbuh,” kata Dina.
Inisiatif MakeDoNia Makerspace dengan program edukasi yang ingin mencapai sustainable innovation ini pun menjadi lebih daripada sekadar dorongan kepada orang-orang untuk membuat produk atau karya DIY yang inovatif, tapi juga tentang mendorong pola pikir untuk terus berinovasi.
“Challenge-nya adalah bagaimana untuk terus berkreasi dan membiarkan ide kita terus berkembang. Karena tidak ada lagi yang namanya ide orisinil. Kita hanya bisa mengisi kekurangan dari ide yang sudah ada,” ungkap Dina.
Header image credit: fastcompany.com