Apakah spesies kita, Homo Sapiens, mengalami pelemahan? Dan tragisnya, kemajuan teknologi dan peradaban kita lah yang melemahkan diri kita sendiri.
Pikiran ini muncul saat gw pertama kali membaca artikel tentang hubungan meningkatnya penggunaan produk-produk “antikuman” dengan kasus alergi dan asma. Alergi dalam penjelasan sederhananya adalah imunitas yang LEBAY. Misalnya, dalam kasus alergi debu atau serbuk bunga. Debu atau serbuk bunga yang sebenarnya harmless, tidak berbahaya, bagi sebagian orang dianggap musuh besar, sehingga timbul reaksi bersin terus-terusan.
Terus apa hubungannya dengan penggunaan produk-produk antikuman, seperti sabun antikuman, tisu antikuman, gel antikuman, dan sejuta produk antikuman lainnya?
Para ilmuwan sudah lama mencurigai bahwa meningkatnya kasus alergi diantara anak-anak di negara maju adalah karena meningkatnya penggunaan produk antikuman di rumah tangga. Fenomena ini disebut “The Hygiene Hypothesis”: semakin higienis dan steril tempat anak bertumbuh, maka semakin besar resiko sistem imunitas si anak menjadi lebay, dan akhirnya makin rentan alergi.
Baca juga: Kenapa Kita Belajar Sejarah?
Sistem imunitas adalah sistem yang “belajar”. Tidak ada manusia yang terlahir dengan sistem imunitas dengan paket antivirus komplit. Sama dengan antivirus komputer, databasenya harus selalu diupgrade, begitu juga seorang manusia membangun database “musuh” secara gradual, sejak kecil. Secara sederhana, Hygiene Hypothesis berkata bahwa lingkungan anak yang terlalu steril membuat sistem imunitasnya tidak “berkenalan” dengan macam-macam mikroorganisme. Produk antikuman membunuh semua jenis mikroba, padahal sebenarnya ada mikroba baik di luar sana yang juga harus dikenal oleh sistem imunitas. Akibatnya, ketika bertemu hal sederhana seperti debu, bulu kucing, atau cowok buaya, sistem imunitasnya literally menjadi NORAK dan bereaksi lebay – dan timbul reaksi alergi berlebihan.
Bandingkan dengan anak-anak kecil generasi orang tua atau kakek kita yang gak kenal banyak produk antikuman, dan sering main di luar. Sejak kecil mereka kenal kotoran, debu, binatang, dll., sehingga sistem imunitasnya “belajar” sejak kecil, membedakan ancaman serius dan tidak. Alhasil, insiden sistem imunitas menjadi norak dan lebay lebih kecil dari generasi sekarang. (Artikel: www.nhs.uk)
Baca juga: Prodigy, Bakat, atau Kerja Keras?
Hygiene Hypothesis ini juga tampak sejalan dengan temuan bayi yang lahir secara operasi Caesar memiliki resiko menderita alergi jauh lebih tinggi dari yang lahir normal. Diduga proses kelahiran normal (vaginal) justru membuat bayi harus terekspos dengan berbagai bakteri dari usus dan vagina ibu, sehingga membuat sistem imunitas bayi mulai “berkenalan” dengan mikroba, biar gak norak nantinya. (I can never imagine saying this, but apparently getting born in shit is good to us. (Artikel: webmd.com)
Tentunya Hygiene Hypothesis tidak serta merta diartikan anak kecil harus kotor-kotoran terus. Bagaimana pun juga kuman jahat dan berbahaya juga harus dihindari. Hanya ternyata kita relatif baru menyadari bahwa manusia yang tumbuh secara terlalu steril justru bisa merugikan di jangka panjang. Sistem imunitas kita harus bertemu dunia nyata dengan berbagai macam penghuni mikroba-nya agar kita lebih kuat. So here’s an irony: kondisi terlalu higienis justru melemahkan kita. (Tampaknya slogan deterjen Dirt Is Good itu ada benarnya ya.)
Gw jadi mikir, apakah hipotesis biologi di atas bisa juga di-apply ke kondisi mental dan psikologi kita. Apakah kita sedang melemahkan mental spesies kita dengan membuat “lingkungan mental” yang terlalu steril? Apakah kita sedang menciptakan generasi manusia dengan “imunitas mental” yang norak dan lebay?
Baca juga: Pro Kontra LGBT, Salah Siapa?
Artikel ini ditulis oleh Henry Manampiring dan sebelumnya dipublikasikan di blog pribadi Henry
Image header credit: cdn2.vox-cdn.com
Comments 1