Setiap motif dan warna punya cerita kehidupan dalam sebuah kain tenun ikat. Puluhan tahap pembuatan yang dijalani selama berbulan-bulan merupakan proses tersunyi dari para penenun. Namun, sunyi ternyata dapat mengantarkan perempuan-perempuan penenun untuk berdamai dengan hidup dan bersiap bersuara untuk kesetaraan.
Ziliun kali ini berkesempatan mewawancarai founder dari Copa de Flores, Maria Gabriella Isabella. Copa de Flores merupakan sebuah local brand yang mengusung kain tenun ikat sebagai ciri khasnya. Dengan misi menanamkan #FashionablyHumanist, tim Copa de Flores membalut cerita dari setiap perjalanan kain tenun. Brand ini juga memprakarsai sebuah proses meditasi visual berbasis tenun untuk para perempuan-perempuan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pelecehan seksual, dan human trafficking di Flores.
Apa yang melatar belakangi tim Copa de Flores untuk mengusung kain tenun sebagai ciri khasnya?
Awalnya bikin Copa itu waktu itu keluarga aku lagi kesulitan keuangan atau semacam financial crisis. Mama aku punya bisnis desain, tapi lagi terkendala. Terus aku bilang sama, aku aja yang back up, tapi aku ajak temen-temen. Jadi aku invite mereka semua (co-founder Copa de Flores) dan mereka tertarik. Mereka maunya karena pengen punya usaha dan yang satu itu karena suka banget budaya. Kami suka banget hal-hal yang otentik tapi fleksibel. Dari situ kita brainstorming untuk menemukan “DNA-nya” Copa de Flores. Memilih tenun karena aku tuh suka banget sama hal-hal yang berbau budaya, tenun, sedangkan temen aku yang desainernya sukanya yang minimalis dan fungsional, yang marketing-nya sukanya yang basic, jadi semuanya kita gabungin. Akhirnya lahirlah Copa de Flores ini sebagai gabungan ide-ide kami.
Produk-produk Copa de Flores punya latar belakang cerita yang unik tentang kain tenun ikat. Bagaimana proses tim Copa de Flores memahami makna dari tiap kain tenun ikat di setiap produk?
Untuk pemahamannya, khususnya dari motif-motifnya, sebenarnya setiap daerah itu punya tenunnya masing-masing, ada tenun Lombok, Bali, Sumba, juga Flores. Perbedaanya kalau tenun itu ada di proses. Di balik prosesnya itu ada teknik-teknik yang berbeda. Teknik tenun ikat yang dipakai sama Copa de Flores. Jadi sebelum ditenun, prosesnya ini diikat untuk motif-motifnya. Proses ikat ini yang lama sampai tiga bulan. Proses ikat ini ngasih perbedaan dari kain yang satu dengan yang lainnya. Karena, kalo kita bilang itu referensi kehidupan dan imajinasi dari si penenunnya itu. Jadi proses kita memahaminya itu juga ngobrol langsung sama mereka.
Bagaimana cerita awalnya Copa de Flores memprakarsai sebuah proses meditasi visual berbasis tenun di Flores?
Jadi ide itu terealisasi pada 2017. Awalnya, kami cuman mau revitalisasi pandangan orang tentang kain tenun ikat sebagai sebuah pakaian yang nyaman untuk anak muda. Tapi selama kami mempelajari itu, kami mempelajari kebiasaan orang-orang di Flores. Ternyata ada satu cerita yang bikin kami akhirnya mikir sesuatu yang impactful untuk orang-orang di Flores. Sampai akhirnya kami ketemu sama orang-orang dari Komnas (Komisi Nasional) Perempuan.
Kami diskusi dan mereka bilang, “Tahu enggak sih masalah orang-orang di Flores itu apa?” aku saat itu jujur enggak tahu, aku jawabnya “biasalah kayak ekonominya masih rendah”. Ternyata masalahnya bukan itu. Orang di sana itu nggak percaya sama potensi mereka that’s why mereka itu banyak yang cabut ke luar kota. Padahal banyak dari mereka itu enggak tahu akan ditempatkan di mana dan angka human trafficking paling besar di Indonesia itu di Flores loh. And most of the victim are women. Sekitar seumuran kita gitu, 20an tahun. Jadilah kami mikirin apa yang bisa kami bantu walaupun kami nggak bisa stay di Flores.
Bagi mereka bikin tenun di rumah itu nggak keren, sedangkan zaman dulu menenun di rumah itu adalah wow. Akhirnya ya udah, misi kami harus ngebuat budayanya menenun jadi keren di mata anak-anak muda di sana.
Kami ngumpulin orang-orang yang udah sebenarnya under afiliasi sama salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yaitu Pundi Perempuan, karena mereka itu udah punya komunitas-komunitas yang dulunya sempat jadi korban kekerasan HAM berat dan masa lalu, juga yang korban pelecehan seksual.
Bagaimana proses meditasi visual berbasis tenun di Flores yang digagas sama Copa de Flores?
Kami bekerjasama sama Pundi Perempuan memberikan akses pada mereka untuk recovery melalui proses meditasi visual. Proses bikin kain tenun ikat itu kan lama banget, bisa berbulan-bulan. Untuk proses mengikatnya, itu kita bilangnya proses meditasi visual berbasis tenun untuk healing. Di sana juga ada pendampingan dengan orang-orang yang latar belakangnya antropologi dan psikologi. Para korban bisa recovery melalui meditasi visual ini karena proses menenun dari awal sampai akhir itu panjang, paling lama, dan paling sunyi. Jadi misalnya kita mau nenun ikat apapun, yang kita rasain itu sudah kita tuangin di ikatnya itu.
Sejauh ini apa tantangan yang dihadapi tim Copa de Flores?
Pertama, karena Co-Founder kami ada banyak yaitu tujuh orang, proses decision making jadi lama. Karena ada banyak otak, terlalu banyak idealisme jadi satu. Kedua, semua orang di tim kami masih punya kerjaan yang lain jadi proses untuk kami diskusi yang intensif itu enggak ada. Tapi itu bisa kami akalin dengan ngelakuin meeting secara online. Tantangan yang ketiga, di Flores kita kan selalu tergantung dengan alam, jadi kita enggak bisa produksi kalau musim hujan. Terus kalau cuacanya terlalu panas, itu juga bisa mempengaruhi warna dari kain. Itulah yang bikin kita sampai sekarang masih lihat gimana ya caranya bisa efisien dan lebih produktif juga.
Menurut Bella, Copa de Flores bisa dibilang sukses ketika berhasil mencapai apa?
Kalau menurut aku, Copa de Flores itu sudah menjadi sukses ketika banyak anak-anak muda di Flores, terutama perempuan sudah bisa mencapai cita-citanya melalui kebudayaan yang mereka miliki, sehingga bisa meminimalisir ketidaksetaraan gender di Flores.