Saya tidak akan dapat gelar atau sejenisnya. Yang saya cari bukan itu. Saya menginginkan ilmu dan debat saja. — Saiful Muhajir
Ketika membaca kisah founder datective.ca yang kuliah di kampus-kampus Ivy League secara gratis sebagai mahasiwa gelap, saya akhirnya teringat kisah nyata yang nyaris sama. Kali ini, pelakunya adalah saya sendiri.
Waktu itu sedang libur semester di kampus dan saya adalah mahasiswa semester dua. Kebijakan di kampus adalah, jika liburan semester mereka akan mengadakan semester pendek untuk mahasiswa yang hendak mengulang mata kuliah tertentu atau mengambil mata kuliah baru guna mengejar “lulus cepat.”
Beberapa teman mengambil semester pendek ini sedangkan saya tidak. Bukan karena tidak ada mata kuliah yang hendak saya ulang, melainkan karena saya tidak punya uang untuk membayar mata kuliah yang mau diulang.
Karena tidak pulang kampung dan tidak punya pekerjaan sampingan, maka liburan semester berarti saya akan menganggur di kos-kosan. Ujungnya paling-paling nonton televisi dan tidur. Useless. Nothing.
Baca juga: Kenapa Biaya Kuliah Mahal?
Kebetulan saat itu salah satu teman dekat sedang mengambil mata kuliah baru, pemrograman. Karena penasaran dan itu adalah salah satu mata kuliah favorit, maka saya dan seorang teman lagi berkomplot untuk ikut kuliah kelas tersebut. Kami menyebutnya mahasiswa gelap.
Kebetulan kelas ini terdiri dari dua macam, yaitu kelas teori dan praktek. Karena setiap dosen wajib mengecek mahasiswanya dengan daftar presensi dalam setiap pertemuan, maka kami tidak bisa masuk ketika kelas teori berlangsung.
Di kelas praktek pun kami cukup deg-degan karena takut kepergok sebagai mahasiswa gelap. Biasanya kami akan duduk di belakang atau tengah-tengah mahasiswa lain sehingga tidak terjangkau oleh dosen. Karena, kemungkinan paling baik adalah kami akan dibiarkan dan tidak dihiraukan sementara kemungkinan terburuknya adalah dosen akan melaporkan perbuatan ini ke dekan.
Baca juga: Pembatasan Waktu Kuliah di Perguruan Tinggi
Sejak kelas pertama kami rajin ikut kelas praktek. Karena kami juga seharusnya mengejar teori, teman yang mahasiswa kelas sesungguhnya berbaik hati membagi catatan dan apa yang diperolehnya untuk kami berdua mahasiswa gelap ini.
Kami kuliah dengan rajin seperti mahasiwa yang membayar. Semua materi kami kuasai dengan baik dan semuanya terlihat aman.
Sampai kemudian tiba ujian akhir semester (pendek).
Masalahnya bukan kami tidak berhasil mengerjakan ujian, melainkan sebaliknya. Kami sukses mengerjakan ujian tersebut. Namun, kedok kami harus terbongkar manakala dosen hendak menilai hasil ujian. Nama kami kan tidak terdapat dalam daftar mahasiswa kelas tersebut.
Baca juga: Selain ke Sekolah Formal, Jangan Lupa Pergi ke School of Life!
Ketika dosen sampai di meja, sambil meringis saya menjawab, ‘maaf, pak. Kami bukan mahasiswa kelas ini. Kami mahasiswa selundupan.’
Sesungguhnya kami sudah menyiapkan jawaban ini sejak lama. Persiapan. Namun saat mengucapkan kalimat tersebut, kami ketakutan. Bener.
Untungnya, sang dosen membiarkan kami dan tidak melakukan pengusiran. Alhamdulillah. Mungkin karena kami cukup pintar di kelas tersebut. Haha..
Baca juga: Perguruan Tinggi dari Perspektif Akademisi
Mengingat kisah Guillaume Dumas yang sukses di berbagai kelas Ivy League, dan melihat bagaimana kuliah di kampus-kampus luar negeri di mana mahasiswa tidak dicek keberadaan dan presensi-nya, saya akan melakukan hal yang sama. Alasan saya harus bolos kelas teori sebagai mahasiswa selundupan adalah karena hal sepele tersebut.
Bahkan, sekarang, jika ada kelas yang bisa saya masuki tanpa ditanya nama, saya akan memasukinya. Iya, saya tidak akan dapat gelar atau sejenisnya. Yang saya cari bukan itu. Saya menginginkan ilmu dan debat saja.
Di mana kampus yang begitu? Saya mau kuliah.
Artikel ini ditulis oleh Saiful Muhajir, dan sebelumnya dimuat di blog pribadi Saiful Muhajir.
Image header credit: hud.ac.uk