Seperti saat kita ospek dahulu, bukan manusia namanya kalau kita tidak memiliki mimpi. Setidaknya kita diwajibkan memiliki mimpi dalam kurun waktu 1 bulan, 1 tahun, atau 5 tahun ke depan. Supaya kamu bisa menentukan apa yang seharusnya kamu lakukan, begitu kata mereka. Kita dituntut membuat mimpi di masa depan walaupun kita belum mengetahui apa yang menjadi passion kita.
Memang tidak mudah untuk menemukan passion, bahkan orang yang terlihat senang saat menjalankan hobinya saja, belum tentu mau menjadikan hobi tersebut sebagai profesi di tahun-tahun berikutnya. Mimpi bukanlah suatu hal yang mudah, tapi juga bukan sesuatu yang sulit. Kalau mau berandai-andai, bermimpi saja menjadi penguasa dunia, mudah bukan?
Namun, ketika kita menyadari bahwasanya ada tembok yang menghalangi mimpi kita itu, apakah lantas kita menganggapnya sebagai sesuatu hal yang mudah? Tidak juga.
2020: Tahun Segala Target Meleset
Tahun 2020 mengajarkan kita banyak hal tentang pentingnya beradaptasi di kondisi yang sangat tidak stabil. Mungkin kita termasuk salah satu di antara orang-orang yang kesulitan mencapai target yang sudah kita tetapkan di tahun 2020 kemarin. Kalau kita menganggap target atau mimpi yang sudah kita tetapkan di awal tahun 2020 kemarin adalah sebuah pencapaian, maka kita termasuk di dalam sekelompok orang yang gagal.
Sebagian orang masih memilih untuk menentukan mimpi mereka di awal, dan berjalan mengikuti alur mimpinya tersebut. Tidak peduli apakah lingkungan dan kondisinya memadai atau tidak, selama jalan yang ia tempuh mendekatkannya kepada mimpi itu, ia akan terus berjalan.
Baca juga: Gaya Hidup Instan: Paling Cepat Belum Tentu Paling Tepat
Saat pandemi Covid-19 semakin merajalela di Indonesia, orang-orang ini akan kebingungan, mau diapakan mimpi mereka? Ada yang sama sekali belum memulai merajut mimpinya, ada yang sudah setengah jalan, atau bahkan ada yang sudah hampir selesai menggapai mimpinya. Namun sayangnya harus berhenti di tengah jalan sebelum menuntaskan mimpinya itu.
Angan-angan yang Melenakan
Di tahun 2021 ini, mari sejenak lupakan mimpi kita. Terlalu banyak bermimpi di awal ternyata menjadikan kita buta dengan kesempatan baru. Bukan mimpi yang terpenting saat ini, tapi adaptabilitas untuk menemukan peluang baru yang realistis.
Diri kita sekarang yang sedang merancang mimpi untuk beberapa waktu ke depan hanya bergantung pada kondisi sekarang atau masa lalu. Iya jelas, karena kita bukan peramal yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi di hari esok. Sudah seharusnya mulai saat ini kita merubah pola pikir kita tentang kehidupan, dan juga tentang apa yang harus kita lakukan, untuk masa yang akan datang.
Mimpi bukanlah aturan yang harus kita pertimbangkan di setiap keputusan yang akan kita ambil. Akan selalu ada gejolak kehidupan (seperti masalah yang tidak terduga atau kesempatan yang datang secara tiba-tiba) di hari-hari yang akan kita lewati, dan bukan mimpi lah yang membantu kita di saat seperti itu. Kemampuan beradaptasi dan usaha untuk melakukan yang terbaik adalah kuncinya.
Masalah silih berganti datang tanpa mengenal kesiapan kita akan selalu bergantian menghampiri kita. Sangat disayangkan jika kita masih tetap berpegang pada mimpi kita tanpa mau membuka pikiran dan mencari peluang untuk setiap masalah yang bisa kita selesaikan saat itu. Tentu kita tahu bahwa setiap datang masalah baru akan membuka pintu peluang baru. Di sini lah peran kita seharusnya, melakukan yang terbaik untuk permasalahan yang kita hadapi di depan mata kita, di sini, dan saat ini juga.
Menjalani Hidup Tanpa Mimpi
Buku The Courage To Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, secara terperinci menjelaskan bagaimana menjalani hidup tanpa harus memiliki mimpi. Mereka memiliki argumen untuk tidak menjadikan kehidupan ini seperti garis lurus, melainkan seperti serangkaian titik-titik.
Perbedaannya adalah, ketika kita berjalan di atas garis lurus, maka kita akan disebut berhasil apabila kita telah mencapai titik akhir dari titik tersebut. Berbeda saat kita berjalan melewati serangkaian titik-titik, setiap titik yang kita lewati akan bernilai seperti suatu keberhasilan.
Begini analoginya, ketika kita memiliki mimpi untuk mencapai puncak gunung, kita tidak akan dianggap berhasil sebelum menyentuhkan kaki di puncak gunung. Meskipun kita sudah berusaha keras menggapai puncak gunung, tetapi kita gagal, maka usaha kita tidak akan bernilai apa-apa.
Lain halnya jika kita menganggap proses menggapai puncak itu sebagai serangkaian titik-titik, maka di setiap langkah yang kita lewati, setiap tebing yang kita panjat, atau setiap keringat yang kita keluar keluarkan, akan bernilai sebagai sebuah keberhasilan. Intinya, indikator keberhasilan sebuah mimpi tidak ada artinya dibanding usaha kita untuk melakukan yang terbaik di sini dan saat ini juga.
Mari menyambut tahun 2021 dengan kesiapan kita untuk terus melakukan yang terbaik untuk apa pun yang ada di depan kita. Tidak ada waktu untuk menunggu hari esok, kesempatan baru akan terus hadir tanpa kita ketahui kapan waktunya.
Tetaplah berjiwa adaptif di setiap masalah dan kesempatan yang ada. Semangat, dan semoga tahun ini menjadi tahun terbaik untuk kita semua.