“Biaya buat instalasi dan eksekusinya mahal! Ini mau pake user research dulu? Mending ga usah deh. Ngabisin biaya!”
Biaya. Satu kata yang jadi kawan atau lawan dalam segala hal, terutama di dunia startup. Kawan, kalo emang ada cash yang bisa membiayai operasional. Lawan, kalo budget yang lo punya itu minim.
Seperti yang udah dijelaskan di artikel sebelumnya mengenai survey, beberapa teknik untuk user research bisa dilakukan dengan wawancara face to face secara perorangan. Jangan lupa, amati perilaku usernya juga, ya. Buat yang pengen survey berbasis web, beberapa situs online menyediakan kemudahan, antara lain Survey Monkey. Tentunya ada fee yang harus dibayar buat bisa nikmatin fasilitas ini.
Baca juga: It’s Always The “Why” That Matters
Satu kalimat yang saya suka dari David Kozatch adalah, “There is no wrong way of doing user research except not doing it all”. Jadi, udah jelas kan, bahwa ga ada alasan untuk kalah sebelum perang. Masak mau nyerah buat nglakuin user research karena masalah biaya? No way lah ya! Semua bisa dicari solusinya. Gimana pun keadaannya, pokoknya project harus tetep jalan.
Nah, untuk teknik survey yang low cost, kita bisa sedikit ‘putar otak’. Kita dapat posting message via media sosial, invite beberapa target user untuk membantu mengisi survey dan menawarkan imbalan yang menggiurkan, contohnya voucher belanja, atau hal lain yang menarik. Bikin kuesioner via Google Form juga salah satu cara efektif buat yang pengen user research dengan jalur low cost. Sertakan link nya dan sebarkan via email, forum, sosmed, dan website-website yang punya user potensial. Uji hasil kuesionernya ke beberapa orang yang dijadikan sample riset.
Baca juga: Trivia: Mendorong Budaya Inovasi
Sebenernya, antara nyebar kuesioner dengan melakukan wawancara bukanlah kedua hal yang beda. Intinya tetap sama: menggali informasi dari user. Perbedaannya hanya pada aspek teknisnya aja, kok. Contohnya, durasi wawancara, keterbatasan jarak, dan banyak hal lainnya. Emang sih, kuesioner lebih efisien kalo sasarannya buat segmen yang luas. Apalagi terhalang faktor geografis. Tapi, ga semua orang bakal ngisi kuesioner seperti yang kita harapkan. Mungkin ada orang yang ngisi kuesionernya banyak dan penuh opini, karena emang dari sananya user suka cerita. Ada juga yang cuma kasih sepatah dua patah kata. Singkat bener deh, lebih singkat dari kata pengantar buku. Terus, banyak data outlier atau data yang menyimpang. Ini bisa terjadi kalo user ga menangkap informasi yang baik dan maksud dari kita sebagai pihak yang memberikan pertanyaan.
Terus, gimana halnya dengan wawancara langsung? Lebih fleksibel. Itu kelebihannya. Pasti beda banget kerasanya, karena kita kan komunikasi sama orang. Sisi negatifnya ya, ga semua orang bisa komunikatif. Ada yang kadang ngehindar dan nolak buat diajakin wawancara. Ada yang baru diajakin kenalan aja udah ogah. Banyak sekali macam behavior nya. Amati dan pelajari hal tersebut, jangan malah cepet nyerah karena udah ditolak duluan! Bahkan sisi positifnya, hal-hal semacam itu justru bisa jadi indikator lho, tipe-tipe orang seperti apa yang ga tertarik untuk menggunakan produk kita. Sehingga kita bisa lebih pinter lagi dalam ‘menyeleksi’ responden yang akan dijadikan user. Disinilah tantangannya. Kita harus pinter buat ngasah intuisi dan kepekaan.
Kesimpulannya, ga ada metodologi yang bisa bener-bener jalan, tanpa ngelakuin wawancara lebih dulu. Khususnya wawancara langsung. Kuesioner bisa digunakan sebagai pendukung. Jadi, mari belajar lebih pede dan langsung ngegali informasi langsung dari sumbernya, yuk!
Baca juga: Apa Unfair Advantage Startup Kita?
Image header credit: picjumbo.com