Kisahnya para kreator dan entrepreneur itu memang selalu unik. Tidak terkecuali, Eno Bening. Online video creator / YouTuber yang dikenal lewat saluran Cleansound Studio ini berbagi ke Ziliun tentang pahit manisnya perjalanan seorang Eno Bening sebagai kreator.
Apakah sejak dulu lo memang ingin menjalani profesi sebagai online video creator?
Kalau dari kecil, cita-cita gue gonta-ganti terus. Sampai SMP, baru sadar kalau semua orang itu punya keunikan–antara dia ganteng atau cantik banget, kaya banget, atau mahir dalam melakukan sesuatu. Karena fisik gak mendukung, maka gue kejar keahlian. Semuanya gue coba. Jadi pinter di kelas, gagal. Jadi Pramuka, gak kuat. Main bola, gak kuat lari. Jadi pesilat, takut kena pukul. Bikin komik, gambar amburadul. Udah coba les gambar, orangtua gak banyak duit buat beli buku dan pensil warna.
Jadi gue ambil kesimpulan pas lulus SMP, bahwa gue gak bisa jadi apa-apa. Akhirnya, pas SMA, lihat-lihat ada kamera nganggur, iseng-iseng deh bawa ke sekolah. Rekam-rekam, belajar edit. Jadi deh bikin film. Dan baru sadar kalau di sekolah, cuma gue yang bisa bikin film. Ya udah diseriusin.
Jadi sebenarnya mau jadi filmmaker, dan sekarang berubah lagi jadi YouTuber. Soalnya, pas di kampus banyak filmmaker Tapi, kalau YouTuber, cuma ada gue hahaha.
Bagaimana keluarga dan masa kecil mempengaruhi mindset dan kreativitas lo?
Tinggal di keluarga gak kaya itu bikin gue sulit untuk mencari, apa sih hal yg keren buat gue nanti di masa depan, atau singkatnya, sulit nemuin apa sih bakat gue. Orangtua malah buang-buang duit untuk gue les sana-sini, beli sana-sini, coba sana-sini. Dan gue tahu banget mereka buang-buang duit. Jadi kadang gue gak tega untuk minta. Akhirnya gue terbiasa dengan formula dasar kehidupan: BERANGKAT DARI YANG ADA. Itu bukan kutipan gue, tapi kutipan Putu Wijaya.
Ya adanya apa, ya gue coba, seperti cerita gue di atas. Ada kamera jadul nganggur, ya gue manfaatin.
Apa alasan lo memulai berkarya lewat Cleansound Studio?
Sempat gue singgung di atas, filmmaker banyak pas kuliah. Karyanya bagus-bagus gue minder. Gue memilih jadi YouTuber aja.
Alasan lainnya, YouTube menerima gue apa adanya. Sedangkan, film tidak. Di YouTube, kamera gue jelek pun, gue masih boleh upload. Sedangkan, di festival-festival film, kalau karya gue gak pakai DSLR, gak pernah lolos. Di kampus juga pada punya modal. Gue kan kagak hahaha.
Sederhananya, gue bikin karya film kan pengen ditonton orang. Masa gue mesti nunggu festival dulu? Itupun kalau lolos. Atau, gue paksa orang beli DVD film gue biar ketonton… siapa gue? Nah, hadirlah YouTube. Gue upload di sana. Semua orang bisa nonton lewat komputernya, dan sekarang lewat HP-nya. Jadi gue fokus bikin karya di YouTube sajalah.
Gue mulai 2009 sampai sekarang ber-YouTube ria. Gak cuma YouTube sih, intinya semua platform video online. Subscriber dari nol sampai dua puluh ribuan itu ya benar-benar enam tahun. Gue rebranding lebih dari lima kali–dari bikin film VFX, pindah ke vlog, pindah ke social experiment, pindah ke gaming. Dulu kumpulin modal–sisihin duit jajan sampai rela ke kampus jalan kaki, makan dibatasin cuma boleh tiga ribu rupiah saja, ikut lomba, ambil side job, HANYA DEMI SEBUAH DSLR!
Pas kebeli itu DSLR, senang bukan main! Ber-YouTube juga lebih semangat.
Selain itu, dulu juga punya kelompok YouTube, rame bisa kali dihitung sampai dua puluh orang. Mundur satu per satu, sisa gue sendirian. Wajarlah, beginian nguras waktu dan tenaga banyak, tapi duit belum tentu ada.
Orangtua gue juga struggle, gudang tiba-tiba direnovasi jadi studio kecil gue.
Apa kegagalan terbesar yang pernah dialami? Dan bagaimana mengatasinya saat itu?
Ketika gue ditinggalin teman-teman seperjuangan, ditambah ketika seseorang yang gue anggep sebagai rival ngalahin gue. Ya itu, sebenarnya sekarang sedang terjadi, makanya gue lagi jarang upload. Gagalnya sampai sekarang belum teratasi.
Tapi, kalau gue diem juga gue gak mengubah apa-apa. Sampai sekarang gue masih berjuang mengatasi kegagalan gue dengan tidak berhenti berkarya, walaupun sekarang gue udah kerja.
Pokoknya, bikin jangan sampai cuma jadi wacana.
Dampak positif apa yang seorang Eno Bening coba ciptakan di Indonesia lewat karya-karya lo?
Mau bikin video bukan bikin orang ketawa lagi, tapi TEROR MENTAL (lagi-lagi quote Putu Wijaya). Sudah banyak orang yang bisa bikin orang ketawa, tapi gue mau bikin yang meneror mental.
Cari musuh. Bahasa halusnya, cari rival deh. Kalau set goal angka itu muda. Set goal untuk tetap di peringkat pertama itu baru jor-joran. Lo udah sampai atas, siap-siap diturunin dengan berbagai cara. Atau nanti alliance bisa aja jadi musuh.
Intinya, kelilingi dirimu dengan orang-orang yang suka bersaing. Kamunya juga harus punya mental cari musuh dan gak mau kalah. Hidup lo bakal keras sih. Tapi gak pernah dengar tuh hidup orang sukses tanpa bersikutan dengan pihak lain yang punya mimpi sama.
Baca juga: Eno Bening, Melawan Tayangan Mainstream dengan Cleansound Studio
Header image credit: Google Plus / Eno Bening Swara
Comments 2