Kolaborasi itu kayak olahraga. Yang namanya olahraga (lari misalnya), mau gear-nya lengkap dan keren, dari mulai sepatu yang bikin lari berasa kayak terbang di udara, wearable device yang terhubung ke media sosial, sampai outfit seksi kece, kalo gak ada niat mau olahraga ya percuma.
Sama dengan kolaborasi. Orang-orang, terutama anak startup, berlomba-lomba mengunduh berbagai aplikasi atau tools untuk kolaborasi. Sesimpel pake Google Drive dan Dropbox, sampe pake tools kayak Trello atau Asana. Tapi, kalau budaya kolaborasi gak embedded di dalam diri kita, ya percuma.
Masih banyak budaya-budaya jelek di masyarakat kita yang gak menjunjung kolaborasi, kayak gak mau share ide gara-gara takut idenya dicuri, lebih milih kerja sendiri karena males harus menyesuaikan diri dengan orang, atau gak intens berkomunikasi dan berkoordinasi untuk hal yang penting.
Baca juga: Hacking Your Productivity
Padahal, esensi kolaborasi ada di proses brainstorming, gimana saling mengeluarkan ide dan opini untuk kemudian menghasilkan output terbaik. Katanya negara demokrasi, tapi masa gak mau lebih vokal bersuara demi mencapai mufakat? Masa gak mau maksa diri untuk sekadar get along dengan orang supaya bisa kerja bareng dengan nyaman?
Mau di masa depan tools kolaborasi dan komunikasi makin canggih (misalnya video conference masa depan bentuknya holographic), ya percuma juga kalo kitanya belum forward-thinking. Bakal kalah terus sama negara-negara Barat, yang masyarakatnya lebih terbuka–lebih vokal dan senang diskusi.
So please, for the sake of the nation, whether you have Nike or not, run. Whether you have sophisticated tools or not, collaborate
Baca juga: Sibuk Itu Cuma Mitos
Header image credit: fastcolabs.com