Di Indonesia, isu kesetaraan gender juga menjadi salah satu hal yang sedang disoroti oleh para perempuan, aktivis, dan institusi. Dan dalam hal ini, Indonesia sudah cukup berprogres, yang paling kentara terlihat dalam bidang politik dan pemerintahan.
Buktinya, kini Indonesia punya delapan menteri perempuan di Kabinet Kerja–hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Indonesia juga punya dua tambahan ketua umum parpol baru, yaitu Grace Natalie dari PSI dan Neneng A. Tuty dari Partai Berkarya. Di bidang industri digital, tokoh-tokoh seperti Leonika Sari dari Reblood, serta Nicole Yap dan Alyssa Maharani dari Digitaraya pun mulai bermunculan.
Namun, apakah progres berarti kita sudah mencapai kesetaraan gender?
Menurut Global Report Equal Measure 2030 tahun 2018, Indonesia memiliki skor paling rendah dalam mencerminkan kesetaraan gender di dalam undang-undang. Dan ini menjadi tolak ukur, apakah di lingkungan kerja wanita benar-benar mendapat tempat yang setara, selevel, dan sederajat.
Riwayat diskriminasi terhadap perempuan memang panjang banget kalau kita tarik ke belakang. Dan sedihnya, ini berimbas bukan hanya kepada mindset bahwa perempuan tidak kompeten di benak laki-laki, tetapi justru di benak perempuan sendiri. Hiks.
Lalu,
Apa sih penyebab ketidaksetaraan gender di dunia kerja?
Menurut Sian Beilock, tersangka utamanya adalah bias gender. Ini adalah lagu lama, sebenernya. Tapi, masalah ini masih terjadi. Sedari dulu wanita seringkali dianggap hanya mampu mengurusi “bagian dapur”, tidak mampu bersaing di dunia profesional, dan tidak berkualitas. Hasilnya, perempuan yang sebenarnya punya keahlian tinggi jadi mau ngga mau tunduk terhadap ekspektasi yang dihasilkan dari stereotip ini, terutama dalam dunia kerja yang didominasi pria.
Masalah utama ini bercabang menghasilkan masalah baru, yaitu kecemasan dan keraguan terhadap diri sendiri. Gue bisa ngga sih? Mereka ngga percaya gue bisa, jangan-jangan bener. Pikiran-pikiran kaya gini umum banget dialami perempuan, lho. Hal ini diamini oleh Paula Stone Williams, seorang perempuan transgender. Di TED Talks-nya, ia membagi penemuan yang ia alami langsung saat masih menjadi laki-laki dan setelah menjadi wanita. Katanya, saat masih menjadi laki-laki, di lingkup kerja ia selalu dihargai, didengarkan, dan dianggap kompeten. Ini semua hilang saat menjadi wanita, karena kemampuannya seringkali dipertanyakan, bahkan dalam hal terkecil pun. Ia seringkali dinilai ngga paham apa-apa tentang persoalan yang sedang dibahas di rapat. Dan ia menyimpulkan,
“The more you are treated as if you don’t know what you are talking about, the more you begin to question whether or not you do in fact know what you’re talking about.”
Semakin kita diperlakukan seperti kita ngga tau apa-apa, semakin kita meragukan pengetahuan diri kita sendiri.
Alias, self-fulfilling prophecy, di mana kita mulai jadi mempercayai kepercayaan orang lain terhadap diri kita. Apalagi di dalam dunia kerja yang didominasi pria. Padahal, kenyataannya mungkin tidak seperti itu.
Nah, bias gender ini juga bermuara pada ketimpangan di tempat kerja yang paling pamungkas ini: kesenjangan upah. Menurut CNBC pada tahun 2017, kesenjangan antara upah laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama dapat mencapai Rp 690.000! Ngga adil banget, kan?
Dan ini semua bermula dari kepercayaan mengakar bahwa perempuan tidak sama berdayanya dengan laki-laki. Apalagi di dalam dunia kerja yang didominasi pria.
Tapi, lingkaran setan ini bisa diputuskan kok.
Gimana caranya?
Pertama, mengekspos pekerja terhadap figur perempuan yang berdaya. Bukan hanya pekerja perempuan, pekerja laki-laki pun perlu melihat figur-figur ini. Riset menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan mengetahui akan adanya role model perempuan yang hebat, semakin naik kepercayaan bahwa perempuan itu sebenarnya cocok kok mengisi posisi pemimpin.
Jadi, bagi kamu CEO, pemimpin, dan inisiator, kenalkanlah pekerja-pekerjamu dengan tokoh-tokoh perempuan hebat. Saat rapat, berilah tempat bagi para perempuan, baik yang senior dan terutama yang junior, untuk memimpin atau bersuara dalam rapat. Hal ini akan memberikan kesempatan untuk mereka berkembang di dunia profesional dan membentuk kepercayaan diri perempuan bahwa mereka mampu sukses dalam mengemban jabatan keren di perusahaan.
Selain itu, dukung kolega perempuanmu untuk melakukan journaling, yaitu menuliskan segala keresahan, kecemasan, dan ketidakpercayaan diri yang dirasakan di dunia kerja. Riset menunjukkan bahwa teknik ini ampuh menurunkan kecemasan dan meningkatkan konsentrasi dan fokus. Mengakui ketakutan membantu perempuan untuk memahami perasaan tersebut, menurunkan negativitas, dan membantu kita untuk berjalan maju.
Strategi lainnya adalah dengan memberi jarak terhadap problem tersebut. Otak kita seringkali membutuhkan waktu untuk reboot. Jika itu masalah profesional, beri waktu kolega atau pekerja perempuanmu untuk mengambil sehari dua hari untuk cool down sambil memikirkan jawaban. Jika itu masalah emosional dan mental, berikan waktu cuti untuk menyelesaikan masalah tersebut tanpa harus terganggu masalah pekerjaan. Misalnya, mencanangkan Mental Health Day atau Self-Love Day di kantor untuk menjaga work-life balance.
Intinya, jika sedari dalam pikiran kita sudah yakin bahwa perempuan dan laki-laki itu sama-sama kapabel, perilaku kita pun akan menunjukkan hal tersebut.
Ingat kata Pramoedya Ananta Toer,
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”
Termasuk di dalam dunia kerja yang didominasi pria.