“Parah, desain gue ga dihargai. Enak aja minta gratis. Modal alat sama aplikasi gue mahal, kali!”
Obrolan tentang dihargai – ga dihargai ini muncul dari teman-teman saya sesama orang yang berkarya. Ada yang desainer, penulis, fotografer, dan anak-anak seni lainnya. Denger kalimat itu, saya agak heran, terus jadi mikir begini:
“Emangnya kita ini siapa, sih? Emang kita udah punya ‘nama’? Emang kalo search Googling, nama kita pasti bakal ada di first page?”
Saya justru berpikir sebaliknya dan agak merendah. Emang bener, harga kamera, laptop dengan spesifikasi tinggi, dan alat-alat gambar ga murah. Tapi, mana ada orang yang percaya dengan hasil karya kita, kalo kita ga kasih hasil tester dulu ke mereka?
Cari ide, berpikir, beli kopi buat jadi trigger pas bikin karya, terus ga dibayar. Masalah, ya? Kasih “gratisan” pada awalnya menurut saya adalah hal yang lumrah. Jika kita mengutamakan kualitas daripada kuantitas, percayalah jam terbang kita akan diasah di situ. Dan lama kelamaan akan mendapatkan “bayaran” yang sepadan yang sesuai dengan pengalaman. Ga bakalan sia-sia kok kalo capek bikin karya, bahkan sampe lembur. Anggap aja lagi investasi! Ga masuk akal dong, masih amatiran tapi minta harga tinggi.
Kalo saya sih ya, yang penting lakuin aja dengan sepenuh hati. Ga usah banyak mau dulu waktu lagi merintis. Yakin deh, suatu saat nanti akan ada orang yang menghargai hasil jerih payah kita dengan nilai yang tinggi karena kualitas karya yang dihasilkan.
Kesalahan terbesar beginner yang berkarya adalah mengharapkan fee yang tinggi. Padahal ya, fee akan mengikuti sejalan dengan hasil yang kita berikan dan kualitas yang baik. Analogi ini sama halnya dengan para founder startup yang sudah mengharapkan mendapatkan investasi di awal untuk mendanai startupnya. Sekarang, misal beneran ada investor yang bakal ngasih duit segepok buat mendanai project kita nih, saya yakin 100% pasti kamu justru bakal bingung duit sebanyak itu bakal dialokasikan buat apa aja.
Ada sedikit cerita yang berhubungan dengan berkarya dari ebook-nya Pandji Pragiwaksono yang berjudul Indiepreneur.
Dimulai dari sebuah cerita…
Suatu hari, Ayah saya, Koes Pratomo Wongsoyudo yang saat itu bisnis penyediaan alat-alat berat konstruksi, berbincang dengan rekan kerja berkewarganegaraan Jerman di Hotel yang saat itu namanya masih Hotel Hilton.
Orang Jerman tersebut bertanya dalam bahasa Inggris, “Koes, orang Indonesia itu aneh ya..”
Ayah saya bertanya balik dengan tidak kalah bingungnya, “Aneh bagaimana?”
“Orang Indonesia itu kalau bikin ukiran bisa detil sekali, indah, presisi..”, ujarnya sambil menunjuk ke sebuah ukiran kayu Jepara yang menempel pada tembok hotel.
“Tapi..” lanjutnya lagi, “Orang Indonesia kalau bikin anak tangga, anak tangganya ga presisi banget. Kadang tinggi anak tangganya 20 cm, anak tangga selanjutnya 21 cm, anak tangga berikutnya 20,5 cm. Ga bisa presisi, ga pernah rapi. Kenapa bisa begitu Koes?”
Ayah saya menjawab, “Yang bikin ukiran itu berkarya, yang bikin anak tangga itu bekerja.”
(Dikutip dari e-book Indiepreneur, Pandji Pragiwaksono)
Menurut saya, beginner yang memikirkan fee tinggi ketika membuat karya diawal kariernya, tidak secara murni bisa disebut berkarya. Lebih tepatnya disebut sebagai bekerja. Karena, orang yang berkarya adalah seperti yang ada di cerita tadi. Membuat ukiran kayu Jepara tidak hanya membutuhkan skill saja, tetapi mencurahkan waktu dan tenaga, bahkan perasaan ke dalam karya yang dibuatnya. Itulah mengapa hasil dari ukiran kayunya berkualitas, dan harganya patut dikonversikan dengan nilai yang tinggi.
Berkarya juga tidak selalu berhubungan dengan seni. Karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan, bisa saja memiliki pola pikir “setiap hari masuk kantor saya harus berkarya”, dan tidak semata-mata mengutamakan gaji. Musisi yang pekerjaannya berhubungan dengan seni, bisa saja tidak berkarya. Musisi ini mendapat request untuk membuat lagu yang dibutuhkan orang lain di luar keinginannya. Meskipun musisi ini tidak menyukai lagunya, tetapi request-nya toh harus tetap dibuat. Musisi ini bukan berkarya, karena hanya memenuhi permintaan client. Musisi ini bekerja.
Jadi, tetapin dari awal dulu, kita “beneran” bikin karya, atau cuma bekerja aja? Daripada wasting time dan bikin lebih banyak “kesalahan” waktu berkarya, mending waktunya digunakan untuk asah skill!
Image header credit: picjumbo.com
Comments 1