Indonesia berduka. Bukan akibat banjir, gempa bumi, atau tanah longsor. Ini bukan soal bencana alam. Ini soal bencana moral.
Rentetan kasus yang terjadi di tanah air belakangan ini menimbulkan kepedihan yang mendalam. Sebutlah diantaranya, kasus seorang siswi 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa 14 orang pria. Gilanya, 7 orang diantaranya masih di bawah umur. Lain lagi di Jakarta, kasus bullying menimpa beberapa siswi di sebuah SMA Negeri. Kemudian di Pulau Sumatera, seorang dosen dibunuh oleh mahasiswanya sendiri karena kesal skripsinya tidak disetujui. Dan yang baru hangat diberitakan di media massa, seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dibunuh oleh petugas kebersihan di toilet kampus. Sungguh tragis.
Ketika kita tahu ada kasus semacam itu, apa reaksinya? Apa cuma prihatin?
Baca juga: Sistem Pendidikan Indonesia yang Menyesatkan
Jika kita cermati kasusnya, dapat ditarik beberapa persamaan. Beberapa kasus di atas terjadi dalam lingkup pendidikan, atau ada kaitannya dengan pendidikan (kasus Yuyun terjadi ketika ia sedang perjalanan pulang sekolah dan masih mengenakan seragam pramuka). Persamaan yang lain, baik korban ataupun pelaku adalah anak muda.
Apa yang salah dengan seorang siswi yang pulang sekolah dengan berjalan kaki sendirian melewati kebun karet?
Apa yang salah dengan seorang dosen yang mengoreksi skripsi mahasiswanya?
Apa yang salah dari seorang mahasiswi rajin dan berangkat pagi ke kampusnya?
Apa yang salah dari hilangnya beberapa nyawa “tak berdosa” yang menurut saya para korbannya sama sekali tidak melakukan kesalahan?
Mana kebenaran dari ungkapan “sekolah dan kampus adalah tempat yang aman untuk belajar.”? Omong kosong!
Lalu, apa yang salah?
Banyak!
Baca juga: Mental Diam
Come on, we have a serious moral problems here.
Beberapa pelaku dari kasus di atas dilakukan oleh orang yang sekolah, orang yang kuliah. Intinya orang yang berpendidikan. Tapi mana faktanya? Perbuatannya bukan mencerminkan orang yang berpendidikan. Kenapa bisa begitu? Ini soal pola pikir preventif, “apa saja yang harus dicegah?. Bukan, “bagaimana caranya mengobati?”.
Anehnya, kalo udah terjadi kasus kayak gini, faktor-faktor reaktif dan eksternal lah yang dijadikan kambing hitam. Sebut aja karena alkohol, nonton video porno, victim blaming karena pakaiannya “kurang bahan”, kesambet setan lewat, budaya anarkis, tidak meratanya pendidikan, kurang afeksi keluarga, and so on.
Hellow, kenapa ga bersikap proaktif dan nyalahin faktor internal dari diri sendiri (para pelaku)? Sadar ga sih, kerusakan moral kayak gini bukan terjadi di kota-kota besar aja, tapi juga di daerah-daerah yang sulit dijangkau bahkan sulit terekspos oleh media (kasus di Bengkulu terjadi di bulan April, tetapi baru “menyebar” di bulan Mei).
Moral sama karakter seseorang ga ada kaitannya sama domisili. Plis lah! Ga bener ini namanya. Kenapa ga mencoba analisis, mungkin pendidikan seks harus ditanamkan sejak dini (dari lingkungan terdekat, contohnya keluarga. Masih banyak masyarakat kita yang menganggap pendidikan seks itu tabu). Atau pembangunan moral, karakter, dan rasa kemanusiaan yang tinggi harus ditanamkan sejak dini. Atau berbagai macam wacana solusi yang lain, yang harus segera direalisasikan, atau terus diperbaiki jika sudah terealisasi.
Kebaikan ga bisa berdiri sendiri. Karena kebaikan punya lawan. Kebaikan dan orang baik itu berbanding lurus. Orang baik bisa melakukan kebaikan bukan dengan usaha sendiri. Orang baik itu butuh sinergi. Sinergi darimana? Sinergi dengan siapa?
Baca juga: Hal yang Harus Diberantas, Minimnya Moralitas
Masyarakat gembar gembor bikin petisi, teriak sana-sini, mengutuk dan mengirim sumpah serapah kepada para pelaku. Tapi kalo ga didengar para pengurus negara dan ga bikin UU yang memayungi secara hukum? Ya sama aja! Begitu pula sebaliknya, kalo pengurus negara tidak ada masukan dari masyarakat tentang apa yang harus ditindaklanjuti, ya nanti jadinya otoriter, sewenang-wenang.
Saya tahu dan yakin sekali, di negara ini masih banyak orang-orang yang baik. Tapi, ketika kita bungkam saja saat ada kasus seperti itu, masihkah kita termasuk orang yang baik? Coba tanyakan ke diri sendiri, apakah kita (masih) orang yang baik?
Saya tahu mengobati ini semua ga gampang. Tapi saya yakin, ini akan menjadi mudah ketika orang-orang baik berkumpul dan melakukan pembenahan. Saya bukan lah apa-apa, bukan juga seseorang yang memiliki kuasa untuk mengambil keputusan. Saya ingin mengajak orang-orang baik di negeri ini untuk melakukan kebaikan. Yang mungkin kebaikannya masih dipendam dan hanya dipikirkan, kemudian menjadi angin lalu. Semua orang berhak untuk menjadi manusia yang layak, menempuh pendidikan, dan meraih mimpi-mimpinya. Jangan biarkan orang-orang baik menjadi korban, dikarenakan orang-orang baik yang lain lebih memilih untuk bungkam. Lakukan sesuai peran masing-masing. Dan berbuatlah yang memang dirasa harus.
Baca juga: Renungan di Hari Pendidikan Nasional: Siapkah Kita Berubah?
Image header credit: picjumbo.com