Waktu SMA, nilai pelajaran saya yang paling bagus adalah Bahasa Inggris, yang kedua Sejarah. Kenapa akhirnya saya pilih jurusan IPA pas kelas tiga, hmm, saya pun ngga ngerti. Jelas-jelas kuliah saya juga ambil jurusan Ilmu Sosial di FISIP. Cuma gara-gara dulu percaya doktrin anak IPS susah tembus SPMB. Hhhh.
Pertanyaannya, kok bisa nilai Sejarah saya lebih bagus dibanding pelajaran yang lain? Sementara semua temen-temen ambisius saya waktu itu cuma peduli sama mata pelajaran eksak macam Matematika dan Fisika. (Maklum, sekolah unggulan. Yang anaknya kalo lulus maunya kuliah teknik atau kedokteran. Uhuk.)
Jawabannya karena saya suka sejarah. Ini bukan karena dulu guru saya ganteng ya. Sebagai klarifikasi, guru Sejarah saya dulu di SMA adalah seorang ibu-ibu yang sudah sepuh sekali, yang kalau ngajar kayak lagi me-ninabobok-an satu kelas.
Baca juga: #BarondaMaluku: Semboyan Lama “Maluku Manise” Kembali Nyata
Yang bikin saya suka sejarah adalah betapa sangat mengagumkannya bagaimana sebuah kejadian di masa lampau mampu membentuk dan menciptakan apa yang terjadi di masa kini. Gimana peradaban pertama terbentuk, apa implikasinya terhadap manusia modern, sampai kenapa ada bangsa-bangsa di dunia (termasuk kita) yang dijajah sementara sebagian bangsa lain punya kekuatan untuk menjajah. Hal-hal semacam ini yang bikin saya tertarik dan mau cari tahu lebih banyak.
Surga versi saya adalah tempat yang memungkinkan saya untuk tunjuk titik di mana pun di atlas, lalu masuk mesin waktu di mana saya bisa pergi ke tempat yang saya tunjuk dalam zaman kapan pun yang saya mau. Sampai di sana saya jadi pengamat yang bisa belajar dan tahu kejadian sebenarnya di masa lalu dengan akurat. Knowledge with no boundaries. Now that is my definition of heaven. Peduli amat sama sungai madu dan susu dan istana bertingkat-tingkat dan bidadari.
Baca juga: Menghargai Sejarah Indonesia Melalui Novel Grafis
Masalahnya, dari dulu sampe sekarang, kita dipaksa (secara langsung dan tidak langsung) untuk membenci sejarah.
Salah satunya dengan pelajaran menghapal. Beberapa soal tipikal pelajaran sejarah di sekolah semacam:
- Kapan perang Diponegoro berlangsung?
- Tahun berapa kapal Belanda merapat di pelabuhan Banten?
- Di kota mana Soekarno-Hatta diungsikan pemuda sebelum proklamasi?
Udah males duluan kan? Ngapain coba gituan dihapalin. Saya rasa Orde Baru sengaja bikin pelajaran Sejarah jadi sangat busuk dan membosankan, sampai ngga disuruh lagi pun, gak ada yang mau cari tahu soal sejarah.
Padahal, yang penting bukan kapan-nya. Tapi kenapa-nya:
- Kenapa Diponegoro angkat senjata lawan VOC pada saat itu, yang sedemikian besar dampaknya sampai dia kemudian di angkat sebagai salah satu pahlawan nasional?
- Kenapa Belanda jauh-jauh datang ke Hindia untuk berdagang? Apa yang terjadi di Eropa yang menyebabkan hal ini?
- Kenapa Soekarno-Hatta yang dipilih jadi perwakilan bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan? Seberapa penting posisi mereka pada saat itu?
Baca juga: Belajar Sejarah Indonesia lewat Arsip Musik Digital
Apa bukan hal-hal itu yang lebih fundamental dan penting dipertanyakan? Apa bukan hal itu yang bikin kita berdiskusi sehingga membuka referensi, lalu kemudian sok-sokan mengeluarkan teori konspirasi?
Saya percaya esensi belajar sejarah adalah untuk mengenal siapa kita dan dari mana kita berasal. Kenapa kita adalah diri kita yang sekarang. Bagaimana mengetahui asal-usul kita membuat kita mengerti mengapa masyarakat terbentuk, lalu bagaimana kita memberdayakan diri sendiri dan masyarakat dengan pengetahuan yang kita punya.
Saya sedih pelajaran Sejarah seperti dianaktirikan. Orang yang belajar sejarah dianggap warga kelas dua. Tidak sedikit pihak yang membuka ruang diskusi mengenai sejarah dan masa lalu kemudian dihalang-halangi bahkan dilawan, karena dianggap membuka luka lama – bahkan lebih parah, dianggap makar.
Kalau saja kita belajar sejarah dengan benar, banyak hal yang bisa kita perbaiki. Salah satunya menghapus prasangka. It would be very useful, mengingat sekarang ada banyak perselisihan di Indonesia yang dimulai dan dikobarkan oleh prasangka. If only we learn.
Baca juga: Komunitas Historia Indonesia: Sejarah dengan Balutan Modernisme