Pernahkah kita berpikir, mengapa di dunia ini jauh lebih banyak peraturan mengenai larangan dan hukumannya daripada anjuran dan imbalannya?
Buktinya, dalam perundang-undangan di negara mana-pun dapat dipastikan bahwa hampir keseluruhan isinya menjelaskan mengenai tindakan atau hal yang terlarang untuk dilakukan beserta hukuman ketika larangan tersebut dilanggar. Jarang atau bahkan hampir tidak ada bagian yang menjabarkan tindakan atau hal apa yang diharapkan dari warga negaranya beserta imbalan jika anjuran tersebut dilaksanakan.
Tidak perlu jauh-jauh, lihat saja di Indonesia. Pernahkah kita memperhatikan bahwa hampir tidak ada peraturan resmi atau hukum dari negara yang mengatur mengenai bagaimana seorang warga negara akan mendapatkan imbalan atas tindakan-tindakan baiknya? Padahal di sisi lain, terdapat sebuah kitab khusus bernama Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang isinya menjelaskan secara detail seluruh hal-hal terlarang beserta hukumannya.
Menurut KBBI, hukum memiliki arti “peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah”
Baca juga: Mental Tuan Besar
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hukum jauh lebih dekat dengan konotasi negatifnya, yaitu hukuman, dibandingkan dengan imbalan. Padahal yang namanya aturan pada dasarnya berhak untuk mengatur hukuman maupun imbalan. Apakah memang imbalan tidak memiliki tempat dalam negara kita?
Mengapa hal yang diatur dan dilaksanakan oleh negara hanya hukuman (punishment)? Mengapa tidak ada cara yang diatur secara hukum oleh negara untuk memberikan imbalan (reward) kepada orang yang telah melakukan hal baik? Bagaimana mekanisme yang ada saat ini di masyarakat untuk pemberian imbalan kepada orang-orang yang telah melakukan perbuatan baik?
Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat istilah “main hakim sendiri”, yaitu tindakan pemberian hukuman oleh masyarakat kepada pelaku perbuatan jahat tanpa melalui aturan hukum yang berlaku. Main hakim sendiri pada konteks negatif seperti pemukulan dan pembakaran tentu pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh negara. Tetapi, sadarkah kita bahwa terdapat pola “main hakim sendiri” di dalam konteks positif? Pada konteks positif ini negara justru angkat tangan dan menyerahkan pada masyarakat umum untuk memberikan imbalan terhadap orang-orang yang telah berbuat baik atau berjasa bagi khalayak ramai.
Pemberian berbagai penghargaan (award) merupakan contoh nyata dari praktek “main hakim sendiri” dalam konteks positif tersebut. Orang-orang hebat dinilai oleh tim juri sehingga didapatkan segelintir juara dan hanya merekalah yang berhak mendapatkan imbalan. Di sisi lain, perbuatan yang melanggar hukum pidana sekecil apapun dapat diperkarakan ke pengadilan. Pencurian ayam, sandal, hingga penipuan skala kecil pun dapat ditindak di pengadilan. Mengapa perbedaan perlakuan ini begitu kentara?
Baca juga: Masih Adakah Random Kindness di Zaman Modern Ini?
Saya membayangkan adanya suatu Pengadilan Putih (White Court), yaitu sebuah pengadilan yang mengadili seluruh orang yang melakukan perbuatan baik dan memberikan mereka imbalan yang setimpal.
Secara sederhana, anggap saja segala apa yang terjadi pada pengadilan yang normal akan terjadi di sini. Elemen-elemen pengadilan seperti hakim, saksi, pengacara, jaksa, korban, tersangka, hingga alat bukti dan alur pembuktian juga ada. Namun, putusan dari pengadilan ini bukanlah hukuman bagi orang-orang yang berbuat jahat, melainkan imbalan setimpal bagi orang-orang yang melakukan kebaikan.
Mungkin Anda akan menganggap Pengadilan Putih ini tak ubahnya acara penghargaan atau perlombaan yang dibahas pada beberapa paragraf sebelumnya. Oh tidak, Pengadilan Putih yang ideal tidak hanya mengurus pelaku-pelaku kebaikan kelas kakap seperti penggagas dokter apung, penggiat wirausaha sosial, atau pembuat kaki palsu untuk komunitas difabel. Pengadilan Putih yang ideal juga akan memberikan imbalan terhadap sekelompok remaja yang melindungi kawannya dari penindas, pemilik warung nasi yang memberikan makanan gratis pada seorang pengemis, atau bahkan sesederhana seorang anak yang membuang sampah pada tempatnya.
Coba lihatlah kasus sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya. Di Kota Bandung sendiri, terutama di daerah Dago, dipasang dengan gamblangnya larangan-larangan mengenai pembuangan sampah secara sembarangan beserta hukumannya. Nilai hukumannya berkisar dari Rp 250.000 hingga Rp 50.000.000.
Boleh hukuman dan larangannya keras, tetapi perlu direnungkan bagaimana perilaku baik dari masyarakat akan muncul jika hanya larangan beserta hukumannya yang kita sampaikan terus menerus. Begini alur berpikirnya: kalau melanggar memang hukumannya berat, tetapi kalau pun tidak dilanggar ya tidak mendapatkan imbalan yang eksplisit. Bukankah aturan dibuat dengan harapan bahwa perilaku masyarakat dapat diarahkan kepada perbuatan baik dan dijauhkan dari perbuatan buruk? Lalu mengapa mekanisme yang disiapkan oleh negara/pemerintah hanya hukuman saja?
Baca juga: Salah Jurusan itu Bullshit!
Manusia itu makhluk yang kompleks, namun logika berpikirnya tentu akan melihat untung dan rugi dari banyak aspek. Mengapa tidak kita siapkan sistem imbalan dan hukuman yang baik dan berimbang, sehingga hidup kita bukannya hanya ditakut-takuti dengan larangan-larangan yang ada, namun juga dengan senang hati melakukan apa yang diharapkan karena kita tahu imbalannya bagi diri kita. Pragmatis? Mungkin. Tetapi faktanya hitung-hitungan cost-benefit merupakan bagian tak terpisahkan dari alam bawah sadar kita dan mempengaruhi keputusan alam sadar.
Jika KUHP merupakan pedoman utama dalam hal hukum-menghukum di Indonesia, maka Pengadilan Putih ini juga akan memiliki “KUHP”-nya sendiri. Tetapi, kitab milik Pengadilan Putih ini tidak berisikan deskripsi mengenai suatu tindakan yang terlarang beserta durasi penjara atau denda yang harus dibayarkan oleh pelanggarnya. Justru kitab ini akan berisi tindakan-tindakan yang dianjurkan dan diharapkan dari seorang manusia di muka bumi ini beserta imbalan atau kompensasi yang didapatkan oleh pelakunya. Agar terlihat kontradiksi dari dua kitab ini, maka imbalan yang disiapkan bisa berupa uang (sebagai lawan dari denda) atau paket wisata (sebagai lawan dari penjara) sesuai dengan tingkat perbuatan baiknya.
Bagaimana? Perlukah kita membuat Pengadilan Putih?
Baca juga: Inovasi Lahir Dari Orang Yang Malas?
Artikel ini ditulis oleh M Sena Luphidika dan sebelumnya dipublikasikan di Medium
Image header credit: Edgehill University