Beberapa waktu yang lalu ketika gue mau makan kolak, gue merasa kolaknya udah kurang enak karena udah nggak panas lagi. Segera gue pindahin kolaknya itu ke panci kecil, terus dipanasin di kompor. Sekitar 1 menit kemudian, kolaknya udah panas lagi dan bisa dimakan dengan enak.
Dalam satu menit menunggu kolak itu panas, pikiran gue sempet melayang ke mana-mana. Salah satunya adalah memikirkan tentang kemudahan yang gue alami untuk memanaskan kolak itu: cuma butuh 1 menit. Gue melihat kemudahan yang gue miliki ini sebagai kekayaan.
Sementara itu, pikiran gue juga melayang ke dunia zaman dahulu kala (actually pikiran gue melintas ke era 600–400 SM sih — Jamannya Cyrus, Croesus, dsb), kemudian memikirkan tentang kekayaan yang mereka punya.Bahkan orang paling kaya zaman itu pun nggak punya “kekayaan” yang gue punya saat ini. Coba lah misalnya si Croesus, yang berharap dianggap sebagai orang paling bahagia di dunia karena punya harta segudang. Bisa nggak hartanya itu dipakai untuk membeli kekayaan yang gue punya saat ini? Kekayaan yang gue maksud antara lain:
- Bisa tidur di kasur yang enak.
- Bisa bayar jasa dokter kalau sakit, dan beli obatnya juga.
- Punya lebih banyak variasi makanan — gue yakin makanan gue lebih enak dibanding makanannya si Croesus.
- Bisa baca buku-buku bagus.
- Bisa manasin makanan dengan cepat.
- …(dll)
Baca juga: Dari Barter ke Uang: Why Working for Money Won’t Make Us Happy
Kalau dari sudut pandang ini, gue bisa bilang bahwa gue jauh lebih kaya dibanding Cyrus dan Croesus. Begitu juga rata-rata orang yang hidup di zaman sekarang ini. Mereka (dan termasuk lo yang baca ini) juga lebih kaya dibanding raja Persia dan Lydia itu.
Tapi sayangnya berbagai kamus yang ada di internet, termasuk Google, mendefinisi kekayaan (wealth) itu sebagai “An abundance of valuable possessions or money.” Jadi ternyata definisi kekayaan (wealth) di kamus nggak bisa dilepaskan dari uang (money). Kalau begitu, seandainya gue berusaha membandingkan kekayaan gue dengan Cyrus dan Croesus dengan menggunakan definisi ini, jelas mereka berdua jauh lebih kaya. Coba lihat daerah kekuasaan Cyrus setelah dia berhasil mengalahkan Croesus:
Luas buanget bo. Seandainya seluruh harta gue dan mereka diukur dengan uang, katakanlah dalam emas, maka bisa dijamin, harta yang gue miliki nggak akan sampai 1% dari harta mereka. Jadi, mereka jauh lebih kaya.
Tapi itu kan definisi kekayaan menurut Google. Pada kenyataannya, konsep kekayaan itu sendiri nggak statis. Konsep itu berkali-kali didiskusikan dan udah banyak penulis yang berusaha mendefinisikan ini dengan cara berbeda, termasuk Adam Smith ketika menulis Wealth of Nation. Gue sendiri memaknai kekayaan itu seperti yang gue tulis di atas; kenyamanan tidur di kasur yang gue punya, kenikmatan makan berbagai makanan, dan lain-lain. Itu semua adalah kekayaan.
Baca juga: Jangan Terlalu Ngikutin Prinsip Ekonomi
So… apa definisi kekayaan kalau begitu? Jujur aja, gue juga kesulitan bikin definisinya dalam kalimat. Kalau lo punya usulan tentang definisi yang bagus, tolong tulis di comment yah 🙂 Yang pasti, jangan samakan antara kekayaan dengan uang. Kekayaan itu bukan uang. Kekayaan itu apa yang kita mau: makanan, minuman, alat transportasi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, buku, komputer, software, dan lain-lainnya. Kekayaan udah ada sejak manusia ada, sementara uang itu penemuan yang relatif baru. Gue mungkin nggak punya uang sebanyak Cyrus dan Croesus, tapi gue lebih kaya.
Membuat Kekayaan vs Membuat Uang
Perbedaan kekayaan dengan uang makin terasa ketika kita bicara dalam konteks “membuat” atau “menciptakan”. Ketika kita berhasil menerapkan teknologi baru untuk dipakai di kehidupan sehari-hari misalnya, itu berarti kita berhasil membuat kekayaan. Terkadang kita membutuhkan uang untuk membeli teknologi itu, tapi terkadang juga nggak butuh. Dan ketika banyak orang di dunia yang terus-menerus melakukan inovasi, mereka pun berkontribusi untuk membuat peradaban kita makin kaya. Lo bisa melihat berapa banyak akumulasi kekayaan yang udah dibuat manusia semenjak jaman dulu hingga sekarang.
Sekitar 80.000 tahun yang lalu, mungkin yang dihitung sebagai kekayaan cuma alat yang bisa manusia gunakan untuk berburu. Berikutnya ketika manusia mengenal pertanian, jenis kekayaan udah makin kompleks: tanah, alat bertani, alat berkebun, anjing gembala, dsb. Sekarang? Jauh lebih kompleks lagi. Dalam 200 tahun terakhir aja, kita mengalami kemajuan yang sangat pesat untuk kesehatan, efisiensi pertanian, pendidikan, dan lain-lain. Gue selipin video Hans Rosling di sini untuk menggambarkan kemajuan pesat di 200 terakhir.
Baca juga: Cashless Society, Generasi Masyarakat Tanpa Uang Tunai
Menurut gue sih, peningkatan life expectancy dalam beberapa 200 tahun terakhir ini juga bisa dipandang sebagai peningkatan kekayaan dunia[1]. Parascientist dan entrepreneur — baik entrepreneur di bisnis maupun sosial — punya peran besar dalam menciptakan kekayaan ini. Mereka menemukan vaksin, antibiotik, membuka rumah sakit di mana-mana, membuat pelatihan tenaga medis, dan sebagainya. Berkat kemajuan ini, gue bisa secara rutin bawa anak gue ke rumah sakit untuk vaksin dan kontrol Dokter.
Sementara kalau kita bicara tentang “membuat uang”, itu seperti nggak ada artinya. Mungkin kita bisa bilang bahwa jumlah uang bertambah ketika beberapa orang menemukan tambang emas (setidaknya jaman dulu ketika emas itu digunakan sebagai uang). Tapi penemuan tambang emas ini tidak membuat kekayaan total bertambah.
Kalau dalam kondisi modern sekarang, uang itu dicetak sama pemerintah yah. Berarti kalau mau “membuat uang”, pemerintah tinggal cetak uang baru aja yang banyak. Tapi mencetak uang nggak membuat negara makin kaya kan? 🙂
[1] Pernyataan ini gue klarifikasi di sini.
Baca juga: Untungnya Jadi Kaya: Bisa Pilih Jurusan Kuliah yang Gak Bikin Kaya
Artikel ini ditulis oleh Wisnu OPS dan sebelumnya dimuat di sini
Image header credit: wallpaperseries.com