Di tengah pandemi gini pasti banyak dari kita yang ngerasain apa pun jadi lebih berat, kayak kuliah atau bekerja. Bagi yang menjalani kuliah online, harus ekstra menyesuaikan diri buat eksplor karena materi tidak disajikan lewat tatap muka. Hal ini malah bikin tugas jadi kerasa banyak banget dibanding masa-masa sebelumnya.
Begitu juga bagi yang saat ini sedang bekerja. Bagi perusahaan yang tidak bisa menjalankan bisnisnya secara online, semua karyawan diselimuti was-was berlebih karena virus corona ini. Begitu pula yang dikasih kesempatan untuk work from home, alih-alih kerjaan jadi santai karena gak harus ke kantor, malah terasa “setiap hari itu bekerja” karena rutinitas hanya bangun-makan-kerja-tidur dan berulang-ulang.
Segala macem hal yang udah disebutin di atas, mau gak mau menguras kesehatan mental kita. Dari pengalaman penulis aja, udah banyak yang curhat kalau dirinya lagi burnout.
Nah, ngomongin kesehatan mental bagi para pekerja itu gak cuman jadi tanggung jawab pekerja aja, tapi juga tugasnya perusahaan untuk memperhatikan kesehatan mental para pekerjanya.
Ternyata, perusahaan bisa mulai merancangnya dan menerapkan ini ke culture perusahaannya. Pas iseng-iseng browsing tentang hal ini, penulis menemukan kasus yang unik, yaitu kebijakan atau culture “No Rule Rules” nya Netflix, yang salah satu poinnya itu ada Kebijakan Cuti Tanpa Batas.
Jadi, Netflix itu ngebebasin para karyawannya untuk cuti kapan pun ia mau dan nggak ada batasan kuotanya. Enak banget kan? Tapi kira-kira seperti apa ya pelaksanaannya? Mari kita cari tau lebih dalam!
Awal mula tercetus ide kebijakan ini
Dari tahun 2003, CEO Netflix, Reed Hastings menjelaskan situasi yang terjadi pada saat itu di Netflix. Pada masa itu, karyawan Netflix itu udah bekerja secara online, mirip-mirip lah kayak WFH sekarang. Seperti perusahaan pada umumnya, Netflix nge-tracking kerjaan karyawan per hari. Hingga ada satu karyawan yang nanya ke Hastings
“‘Kami semua biasa bekerja online pada beberapa akhir pekan, menanggapi email di luar jam kerja, terus menggunakan waktu siang untuk waktu pribadi,” kata karyawan tersebut. “Kita nggak melacak jam kerja per hari atau minggu. Terus, kenapa kita menghitung jumlah hari cuti per tahun?”
Hastings sadar, dia gak punya jawaban buat karyawannya.
Terus?
Masih dalam buku tersebut Hastings nulis gini:
“Today, in the information age, what matters is what you achieve, not how many hours you clock,” writes Hastings. “I have never paid attention to how many hours people are working. When it comes to how we judge performance at Netflix, hard work is irrelevant…. So, why should I care if [an] employee works 50 weeks a year or 48 weeks a year?”
Hastings berpendapat dia udah gak peduliin berapa jam yang dihabiskan dalam bekerja, mau itu 50 minggu per tahun atau 48 minggu per tahun. Menurut Hastings, banyak inovasi besar di berbagai perusahaan yang lahir pas orang-orangnya balik dari liburan. Setuju sama Om Hastings, hihi.
Hastings juga bilang kalau waktu istirahat itu ciptain mental bandwith alias perhatian yang lebih fokus, yang bikin kita lebih bisa berpikir kreatif dan bekerja dengan “cahaya” yang berbeda. Hastings kemudian menambahkan, kalau kita kerja terus menerus, kita gak bisa melihat masalah dengan pikiran terbuka.
Pertanyaannya: emang ada gak sih masalah setelah kebijakan ini ditetapkan?
Tentunya ada dong, karena pas kebijakan tentang penghitungan cuti dihapuskan, ini belum bener-bener dituliskan gitu, jadi cuma lewat omongan. Sebelum kebijakan ini akhirnya tertulis, butuh waktu yang banyak untuk para manager mengkomunikasikan hal ini satu-satu dan masih banyak yang belum ngeliat ini sebagai keuntungan.
Masalah lainnya yang muncul adalah, perasaan gak enakan dari para karyawan buat ngajuin cuti walaupun udah dibebasin buat ngajuin cuti kapan aja. Para karyawan itu ngeliat dari bos alias manager-nya yang gila kerja dan ogah mengambil kesempatan ini. Pasti banyak juga yang model begini nih di Indonesia, hehe
Untuk itu Hastings minta para manager juga melakukan hal yang sama, yaitu mengambil cuti. Bahkan Hastings nge-trigger para karyawannya buat ambil cuti di rapat besar tiga bulanan.
Manfaat yang akhirnya terasa
Jika dilakukan dengan benar, kebijakan “cuti tanpa batas” ini sangat berguna buat mental health para karyawan, meningkatkan kepuasan karyawan, dan terbukti menjadi alat perekrutan yang ampuh banget di Netflix.
Ini juga membantu mempertahankan talenta terbaik untuk tetep stay di Netflix, terutama bagi karyawan Gen-Z dan Milenial, yang gak peduliin jam kerja. Yang ujung-ujungnya, bisa kasih kontribusi dalam inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Netflix.
Kapan yha di Indonesia ada perusahaan yang begitu?
Bisa dibilang belum banyak perusahaan yang menerapkan culture ala Netflix ini, karena tentu banyak konteks yang gak bisa kita samakan. Tetapi, ini bisa jadi acuan yang bagus, buat para perusahaan untuk mencoba culture yang sekiranya relate dengan kondisi sekarang, di mana tbanyak jenis pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, dan juga respon atas semakin banyaknya Gen-Z yang akan bekerja nantinya.
Jadi walaupun kondisi kayak gini, kamu tetep berhak kok ngambil cuti 😀 hehe
—
Referensi: Justin Barisso di inc.com