Katanya karya kreatif bangsa itu harus punya muatan lokal dan kearifan lokal, supaya punya ciri khas atau jati diri bangsa, gak bener-bener kemakan arus globalisasi.
Emang yang kemakan arus globalisasi itu gimana, sih? Ya, misalnya, komik Indonesia, tapi gayanya manga banget. Atau produk fesyen lokal, tapi plek-plek nyontek dari tren terbaru di Tokyo atau Milan.
Alhasil, untuk membawa kearifan lokal ini, pekerja kreatif pun berlomba-lomba mengangkat unsur-unsur tradisional di karyanya. Misalnya, sekarang banyak brand fesyen hipster yang pake unsur batik, atau motif-motif tradisional lain dengan balutan modern.
Baca juga: Sweta Kartika, Memasukkan Unsur Indonesia di Tiap Karya
Eh, tapi, wait, emangnya kearifan lokal itu sama dengan tradisional, ya?
Kalau menurut Sweta Kartika, comic artist ternama di Pop Talk hari Sabtu (19/09) lalu, yang namanya kearifan lokal itu gak harus berbau tradisional. Memang penting, untuk punya ciri khas, supaya saat karya kreatif seperti komik dibawa ke luar, pasar luar akan langsung kenal, ‘Oh ini karya Indonesia!’.
Tapi, ciri khas itu bisa dateng dari mana aja. Misalnya, kalau dalam komik, dari karakter wajah tokoh-tokoh sampai ke cara duduk, bisa dibuat lebih “Indonesia”. Sekarang ini kata Sweta ada komik-komik lokal yang tokohnya pakai seragam putih abu-abu, tapi mukanya bule banget! Atau misalnya, muka cantik ganteng semua, gak realistis.
Baca juga: Q&A: Sweta Kartika, Kunci Berkarya: Disiplin, Persistence, dan Konsistensi (1)
Sweta yang dikenal lewat karya, salah satunya “Grey & Jingga”, ini selalu berusaha agar “membumi” dalam karya-karyanya. Misanya, “Grey & Jingga” muncul saat cerita cinta banyak yang sifatnya hyper reality. Roman “Grey & Jingga” yang membumi disambut baik oleh pembaca muda yang merasa bisa lebih relate dengan ceritanya.
Terus, gimana dong biar karya kreatif bisa punya kearifan lokal tanpa perlu overselling unsur-unsur tradisional? Kata Sweta, yang penting mesti riset sih. Kalau ada karya yang kurang ciri khas, itu berarti kurang riset aja menurut Sweta. Salah satu contoh karya kreatif lokal yang penuh kearifan lokal adalah serial “Lupus” karya Hilman yang legendaris di tahun 90an. Karakter-karakter di dalamnya seperti Boim, Gusur, dan Fifi Alone dekat banget dengan kehidupan nyata.
Jadi, kalau mau bikin karya yang keren, jangan terlalu jauh ngelihat referensi dari luar negeri. Lihat ke sekitar aja, banyak kok fenomena sehari-hari yang bisa dijadikan ciri khas.
Baca juga: Q&A: Sweta Kartika, Kunci Berkarya: Disipin, Persistence, dan Konsistensi (2)